Baling-baling pesawat kecil itu masih berputar kencang setuntas roda-rodanya berhenti di landasan. Guyuran hujan yang membasuh Kota Bima siang itu ibarat sambutan yang tidak diharapkan. Apa lagi kalau bukan lantaran penerbangan pesawat kecil yang senantiasa terasa penuh goncangan dari Denpasar hingga ujung timur Pulau Sumbawa.
Keluar dari bandara menuju kota juga bukan perkara mudah. Saya harus merogoh kocek seratus dua puluh ribu rupiah hanya untuk sekali perjalanan menuju jantung Kota Bima. Bukan harga yang murah tentu saja, namun juga bukan sesuatu yang berlebihan sebab jarak bandara memang lumayan jauh dari kota.
Alih-alih langsung bergegas menuju kota, saya menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan seorang perwira polisi yang nampak seorang diri menunggui gardu jaganya di depan gerbang bandara.
“Mayoritas warga Bima adalah petani,” ungkap bapak polisi tersebut, “Yang selama ini mereka tanam kacang, belakangan ini banyak beralih tanam jagung. Mungkin juga karena tergantung situasi, apa yang mereka tanam bergantung pada permintaan pasar.”
Kami berdiskusi panjang lebar perihal masyarakat Kota Bima hingga akhirnya saya merasa sudah waktunya untuk beranjak menuju kota. Sebuah mobil Avanza mengantar perjalanan saya dari bandara menuju kota, di bawah basuhan hujan lebat. Sementara di luar sana saya melihat jalan raya mulus sedang diperlebar, di sisinya nampak lusinan orang berjalan kaki di bawah hujan deras, seakan-akan tidak ada salahnya dengan hal itu. Entahlah. Saya terlalu lelah untuk bertanya lagi.