Iring-iringan sepeda motor menyesaki pusat kota kecil ini. Di belakangnya rombongan mobil polisi mengikuti dan beberapa tentara bersenjata laras panjang berjaga-jaga di kanan-kiri jalan raya. Kemudian mobil jenazah dengan sirene meraung-raung menempel erat truk Brimob yang ada di depannya.
Saya ke Wamena di waktu yang salah.
Pasalnya baru kemarin situasi memanas yang nyaris memantik konflik horizontal antara putra daerah dan kaum pendatang akibat tewasnya seorang pemuda asal Sulawesi. Orang tersebut terlibat perkelahian di Pasar Jibama yang berakhir dengan penusukan oleh seorang warga lokal yang ditengarai dalam kondisi mabuk. Peristiwa ini membuat tentara dan polisi menurunkan pasukannya untuk mencegah konflik meluas.
Saya hanya memandangi iring-iringan kendaraan pembawa jenazah tersebut dari belakang dinding kaca Kafe Pilamo. Siang itu saya memang berencana untuk mencicipi Kopi Wamena langsung dari daerah asalnya, namun tak disangka saya justru mendapatkan tontonan lebih menarik dari sisi jalan raya.
Pembunuhan yang berlangsung pada sore hari kemarin itu membuat Pasar Jibama ditutup. Padahal pasar yang juga berfungsi sebagai terminal angkot tersebut merupakan pasar terbesar sekaligus urat nadi perekonomian Wamena. Namun apa boleh buat, yang nampak hanyalah beberapa polisi bersiaga dengan menenteng senjata laras panjang. Nampaknya mereka paham betul bahwa gesekan kecil di Papua ini sewaktu-waktu dapat meletup menjadi perkara nasional yang dipolitisasi.
Sore itu saya memilih menyendiri di atas jembatan, tidak banyak yang dapat saya lakukan dalam situasi yang nampaknya kurang mendukung untuk menjelajah. Sementara di Pasar Jibama sendiri beberapa ekor babi malah sibuk mengais-ais sisa-sisa makanan di kios-kios yang tidak berpenghuni. Seorang ibu dari Jawa yang membuka kios rokok mengingatkan saya agar tidak terlampau sore kembali ke hotel lantaran situasi bisa saja memanas.
Ah, Wamena! Nampaknya saya berkunjung di waktu yang keliru.