Pengasingan adalah jalan terbaik bagi Roro Anteng di tengah koyak-koyak keluarganya. Sengketa yang melibatkan ayahandanya, Prabu Brawijaya V, melawan saudara tirinya, Senopati Tan Jin Bun, mengunci lembaran terakhir Imperium Majapahit. Kisah kedigdayaan kerajaan nusantara itu lebur menutup dekade-dekade terakhirnya yang bertabur konflik internal. Prabu Brawijaya V tersudut ke pulau seberang, sementara Jin Bun mengubah namanya menjadi Raden Patah dan mendirikan Kesultanan Islam Demak.
Roro Anteng tidak mengikuti jejak ayahnya yang melarikan diri ke Bali. Ia lebih memilih untuk mengasingkan diri ke sela-sela gunung, yang jauh dari hiruk-pikuk politik nusantara. Di sanalah, ia menikah dengan Joko Seger, putra seorang Brahmana.
Keturunan Roro Anteng dan Joko Seger inilah yang kemudian beranak pinak dan menyebut diri mereka Suku Tengger, sebuah komunitas sub-etnis Jawa yang beragama Hindu dan mendiami lereng Pegunungan Bromo. Selama berabad-abad mereka terhindar dari carut marut perebutan kekuasaan di nusantara, hidup menyendiri di dalam adat istiadat aslinya dan mempertahankan ajaran Hindu erat-erat.
Tidak mengherankan. Tanpa turis, Bromo adalah padang pasir senyap. Alamnya yang cantik serta kabut putihnya yang senantiasa menaungi hamparan padang pasir mencetus nuansa ketenangan nan mistis. Pasir Berbisik.
Perjalanan saya kali ini memang jauh dari ketenangan seyogyanya, karena kami menjalani sebuah wisata bergerombol dengan nyaris dua puluh kepala di dalam satu skuad. Namun teruntuk tanah selapang ini, apalah artinya dua puluh kepala?
Saya memandang lurus ke kejauhan. Hamparan pasir coklat putih terang sesaat terlihat tenang kemudian bergulung-gulung menerbangkan debu-debu ke udara.