Barisan tengkorak kerbau terpampang di atas palang-palang kayu. Dua buah tonggak lapuk menahannya agar tidak jatuh. Salah satu batok tengkorak terkesan lebih besar daripada yang lainnya, namun tulang tanduknya tinggal utuh sebelah. Terlihat gurat-gurat kasar di tanduk lainnya, nampak seakan-akan telah dipatahkan dengan paksa.
Saya termenung sesaat di depan barisan tengkorak itu. Tulang belulang ini ditemukan di berbagai sudut Pulau Rinca, utamanya adalah hewan-hewan ungulata yang menjadi mangsa komodo. Racun liur komodo membunuh hewan-hewan malang ini dan menjadikan bangkai mereka bancakan para komodo.
Ada beberapa tengkorak lonjong tanpa tanduk pada baris bawah. Saya mengamatinya sambil mencoba menerka-nerka milik hewan apakah itu, apabila dilihat dari ukurannya maka ini adalah tengkorak hewan berukuran besar.
“Itu kuda liar,” sahut Usman spontan, “Di sini juga ada kuda liar meskipun sangat jarang.”
Menarik bahwa Pulau Rinca ternyata punya ekosistem yang lebih berwarna daripada yang saya duga. Tidak hanya komodo namun juga kerbau dan kuda liar, sekawanan monyet juga sempat terlihat di dekat dermaga. Yang lebih menarik adalah mengetahui bahwa ternyata komodo sanggup berenang, sesekali mereka juga berburu mangsa di air dangkal.
Ada cerita yang jarang diungkapkan. Bahwa pada awal Taman Nasional Komodo berdiri, komodo pernah beberapa kali memangsa manusia. Ada sebuah desa kecil pada bagian lain Pulau Rinca yang wilayahnya berpotongan dengan habitat para komodo. Sebuah legenda urban mengisahkan bahwa komodo beberapa kali menyambar anak-anak kecil yang bermain di bawah rumah panggung.
Benar atau tidak, entahlah. Sang pemandu pun terlihat agak enggan bercerita, namun tidak membantah kebenaran cerita tersebut. Satu saja yang jelas, komodo memang tercatat pernah beberapa kali melukai petugas taman nasional.