Tiada yang namanya peneduh, terkecuali pohon-pohon perunduk yang jarang-jarang menghiasi padang rerumputan ini. Di tengah musim kemarau panjang rumput pun lumrah nampak mengering menguning, sementara matahari bersinar dengan liarnya meskipun masih mengambang rendah di ufuk timur. Inilah Pulau Rinca, tatar terbesar kedua Taman Nasional Komodo yang cantik itu.
Kami bertiga berjalan menyusuri tanah setapak yang membelah pulau kecil ini, lurus menuju ke luasan di atap bukit tepi laut. Sunyi. Baik Lomar dan saya tidak melontar ucap sepatah kata pun.
Masyarakat Flores menyebutnya Doro Ora. Doro adalah gunung, sedangkan ora adalah komodo. Tinggian enam ratus meter di atas permukaan laut inilah yang menjadi titik pandang Pulau Rinca, menatap luasan padang rumput dan laut biru yang melatarinya.
Ada dua ribu lima ratus ekor komodo mendiami tanah ini. Sedikit lebih banyak daripada jumlah komodo yang ada di Pulau Komodo sendiri, meskipun Pulau Rinca terbilang masih kalah luas. Lantaran kepadatan komodo per kilometernya lebih tinggi daripada pulau kompatriotnya, peluang untuk bertemu komodo juga lebih besar di pulau ini.
Sampailah kami di atas bukit, tepat berada di lekukan teluk yang menghadap ke laut. Perairan biru jernih menghampar luas terhampar di bawah sana. Enak dilihat namun tidak enak dirasakan, karena semakin lama panasnya semakin tidak karuan. Bahkan kulit ini pun terlihat sudah mulai kemerah-merahan.
Lomar dan saya mengambil rute memutar untuk kembali. Lagi-lagi melewati hamparan rumput kuning yang terpapar luas, sementara di bawah sana lautan biru bergetar pelan.