Perairan Komodo bagaikan hamparan air biru dengan gugus-gugus kepulauan hijau berpohon runduk di setiap sudut-sudutnya. Barangkali tiada yang menyangka bahwa air tenang yang menyelimuti perairan sempit ini begitu liar di bawah sana, berpusar dan menelan yang tidak awas terhadap keadaan. Apalagi dibalut dengan keindahan alamnya yang terkadang memang melenakan.
Petualangan saya di sini mungkin kurang begitu menyenangkan karena saya nyaris tersedot ke pusaran air celah sempit yang diapit pulau-pulau hijau terang ini. Namun untunglah saya berhasil melepaskan diri dan berenang ke tepian.
Pulau Kelor memang anggun. Andai saja saya tidak punya keharusan untuk mengejar kendaraan menuju Ruteng besok hari, barangkali Lomar dan saya sudah berkemah dan bermalam di dataran ini. Sayangnya keterbatasan waktu membuat kami hanya bisa menyinggahi surga ini sesaat saja.
Kini perairan pulau mungil ini menjadi favorit bagi pelancong untuk snorkelling, namun tidak demikian halnya ketika saya berada di sana sepuluh tahun silam. Sunyi senyap. Tiada seorang pun terlihat di dataran sempit yang mengambang di lepas pantai Labuan Bajo ini. Tidak urung, Lomar, saya, dan bapak tukang perahu menjadikannya sebagai persinggahan terakhir sembari menyantap makan siang, sebelum berlepas kembali ke Flores.
“Tidak banyak orang yang main ke sini,” kata si bapak tukang perahu, “Biasanya juga ada beberapa bule, kalaupun orang Indonesia biasanya rame-rame, satu tim besar dan banyak kapal.”
Memang. Itu sepuluh tahun lalu. Kini pencarian di internet menunjukkan bahwa Pulau Kelor yang lama berada dalam kenangan saya itu sudah menjadi destinasi kardinal bagi para pesinggah Taman Nasional Komodo, pemberhentian terakhir sebelum mencapai terminus di Labuan Bajo.