Namanya Putra. Entah putra dari siapa. Kami baru berkenalan minggu lalu di dunia maya, siang ini kami berdua sudah melibas aspal Majene menuju ke Polewali. Belum separuh perjalanan, Putra menghentikan motornya di tepi bukit yang menjorok ke lautan, memperlihatkan pantai pasir putih di bawah sana..
“Dulu pantai ini ramai,” sahut Putra dengan antusias, “Namun sekarang tidak banyak orang yang bermain ke sini lagi. Banyak sampah terdampar ke sini. Semoga bisa dibersihkan.”
Tidak salah. Posisi Pantai Labuang memang sedemikian menarik. Lokasinya berada tepat di bawah bukit beralang-alang rendah. Dari atas sana pengunjung dapat memandang langsung ke bawah tanpa terhalang sesuatu apapun. Garis pantai Sulawesi Barat yang memanjang terlihat begitu jelas.
Penuh kehati-hatian saya pun menuruni bukit, sementara Putra mengikuti di belakang. Salah melangkah sedikit saja, kami berdua bisa langsung bungee jumping tanpa tali.
Keadaan di bawah tidak seindah apa yang terlihat dari atas. Banyak sampah di bibir pantai ini, baik yang sengaja dibuang maupun yang terdampar dari seberang lautan. Beberapa buah kapal nampak bersandar di tepian karang, entah di mana pemiliknya. Meskipun demikian, keunikan kontur dari Pantai Labuang ini membuatnya tetap tidak kehilangan pesona.
“Ayo, kita lanjutkan perjalanan,” suara Putra beradu dengan debur ombak, “Nanti kita singgah sebentar di rumah bibi saya di Lapeo sebelum melanjutkan ke Polewali.”
Untuk kembali ke atas, kami harus melipir sisi bukit yang lebih landai. Putra berjalan di depan sementara saya mengikutinya. Ada sebuah nisan kecil yang terletak di sembiran bukit itu, lengkap dengan sesajen di salah satu sisinya. Kami berhenti sejenak di hadapnya, Putra menggeleng, mengisyaratkan seluk-beluk makam kecil di lokasi yang janggal ini memang tidak diketahui.