Debit air yang semenjana justru menjadi berkah. Memang tidak sampai krucuk-krucuk, tetapi setidaknya cukup nyaman untuk kungkum atau sekedar berbasuh-basuh diri. Indo Rannuang pada musim kemarau memang tidak ganas. Airnya sedikit dan batu-batunya menyembul ke permukaan.
Jadilah kami berempat pada pagi itu mandi di sungai Limbong Sitodo yang airnya ogah-ogahan ini.
Bagi pejalan jauh yang jarang mandi seperti saya, air berlimpah adalah kemewahan. Tidak terkecuali apa yang saya dapatkan di undak-undakan curug ini. Bahkan ada rumus informal bahwa lamanya seseorang mandi di sungai berbanding terbalik dengan seberapa sering dia mandi. Semakin jarang mandi, semakin lama mandinya kalau ketemu air.
Dari balik tirai air, kami menatap lepas ke arah cekungan Polewali. Pepohonan rimbun mengapit lanskap seakan menjadi bingkai bagi pemandangan. Saya hanya duduk diam di bawah guyuran air. Lama terpaku menatap pemandangan samar-samar itu.
Bagi saya perjalanan ini tak ubahnya sebuah perpisahan. Saya merasa bersalah terlalu sebentar berada di Polewali karena sore nanti saya sudah harus sampai di Mamasa. Perjalanan melintasi Sulawesi Barat ini memang lebih singkat daripada perjalanan-perjalanan saya yang sebelumnya. Persoalannya cukup klise karena keterbatasan waktu lagi-lagi menjadi sekat.
“Sudah jam dua belas!” teriak saya dari atas air terjun kepada Putra dan Adnan di bawah, “Saya harus kembali ke Polewali dan mencari kendaraan ke Mamasa siang ini.”
Cukup satu seruan saja untuk membuat mereka beres-beres dan kembali berpakaian. Kami bersiap untuk kembali. Ada keyakinan masyarakat Indonesia bahwa andai kita meminum air suatu sungai, maka suatu saat kita pasti akan kembali lagi ke tempat tersebut. Sebelum berjalan pulang, saya pun menyesap habis setangkup air dalam genggaman. Bukan karena percaya, tetapi karena haus.