Belum pukul tiga pagi namun seisi penginapan sudah riuh. Ibarat sebuah perjalanan ibadah, kami semua berbaris beriring-iring menuju ke Puncak Penanjakan. Meskipun lambat-lambat, perjalanan ini butuh mata yang awas lantaran gelapnya suasana sekitar. Matahari memang masih lama terbit.
Puncak Penanjakan ibarat tribun kelas satu dalam teater matahari terbit. Lewat pasase sempitnya luasan kaldera Tengger terlihat tanpa terhalang apapun. Sempurna.
Meskipun tidak terlampau berat, tanjakan seperti ini bukanlah kelaziman bagi penduduk Jakarta semacam kami. Tidak heran apabila Babul, teman saya yang bertubuh tambun, kesusahan untuk menyamai langkah tim. Solusinya tentu saja menyewa kuda. Sayangnya, tidak ada satu pun kuda yang sanggup mengangkat tubuhnya!
Kami tiba di Puncak Penajakan sebelum matahari terbit, tanpa Babul yang memutuskan tinggal di bawah bersama beberapa orang teman. Di atas ini gelap. Kami lebih banyak membisu sementara ambien yang terdengar hanyalah suara kerisak rerumputan yang diinjak dan tawa-tawa kecil.
Beberapa menit kemudian matahari terbit. Sorot cahayanya memapas lereng Gunung Bromo yang lerengnya bergurat-gurat. Pendar cahaya kuning jingga menghiasi bagian bawah cakrawala sementara awan-awan putih nampak menggantung rendah di sisinya.
Memang indah. Namun momen-momen itu terasa begitu singkat. Tidak berapa lama langit biru benderang dan tawa-tawa kencang mulai bersahut-sahutan. Kami bergegas turun.