Kearifan Lokal Kampung Naga

Jumlahnya seratus sebelas. Menghadap ke arah yang sama. Tidak sekalipun mereka menambah maupun mengurangi jumlah bangunan beratap ijuk di kampung ini sejak masa silam. Saat ini, ratusan bangunan tersebut terhampar di hadapan saya. Sebuah pemandangan surreal di sebuah siang yang gerimis.

Masyarakat Kampung Naga menjauhkan diri dari penggunaan listrik. Bukan apa-apa, namun profil desa yang serba kayu, bambu, dan ijuk potensial menghadirkan kebakaran masif apabila dilalap api. Musibah yang tentunya sebisa mungkin mereka hindari.

“Tapi kok itu ada televisi?” celetuk Bayu enteng ketika diajak masuk ke salah satu rumah.

“Televisi ada beberapa. Pakai aki. Jam dinding juga boleh pakai batere,” jawab Pak Atang. Yang jelas tanpa masuknya instalasi listrik ke perkampungan ini, segalanya menjadi lebih repot. Karena faktanya energi listrik minimalis masih digunakan meskipun digenerasi dari sumber-sumber non-konvensional.

Sebenarnya sudah beberapa kali pemerintah kabupaten menawarkan jaringan listrik untuk dialirkan ke perkampungan ini. Namun jumlah penawaran sepadan dengan jumlah penolakan. Pemerintah menyerah dan membiarkan warga Kampung Naga bertahan dengan jalan kehidupan tradisionalnya.

Kami melintas ke sejumlah tempat penumbukan padi. Beberapa orang wanita sedang sibuk menumbuk padi di pondok-pondok. Seorang ibu menawari saya untuk melakukan penumbukan. Ternyata tongkat penumbuk padi jauh lebih berat daripada yang saya bayangkan!

Meskipun sudah memeluk agama Islam, masyarakat Kampung Naga masih memegang kepercayaan adat leluhur mereka. Salah satunya adalah permohonan berkah dari Eyang Singaparna. Ada banyak kearifan lokal Indonesia yang saya temukan di tempat ini. Bertahan dari derasnya arus perubahan zaman.