Pak Gamaliel punya dua kapal, Teras Lasang Garu dan Getek Tahasak Danum. Dua kapal motor ini diparkir tidak jauh dari Tugu Soekarno di paparan Sungai Kahayan dalam kesehariannya melayani lalu lalang arus wisatawan yang berminat menjelajahi sungai ini.
Kebetulan pagi itu saya bersua dengan Teras Narang, gubernur Kalimantan Tengah yang dijuluki Pangeran Dayak, bersama rombongan. Entah apa aktivitas yang mereka lakukan, inspeksi sungai ataukah sedang membawa tamu berkeliling kota. Bagi saya hari itu hal yang lebih penting adalah bagaimana membelah Sungai Kahayan siang nanti. Jadilah saya bertemu dengan Bapak Gamaliel untuk memesan satu kursi.
Teras Lasang Garu adalah kapal yang lebih besar. Tiket untuk sekali perjalanan sekitar tujuh puluh ribu, saya lupa angka pastinya. Perjalanan di atas kapal motor ini bisa berlangsung selama lebih dari satu jam dengan rute trans-Kahayan termasuk menyambangi tepi-tepi hutan bakaunya.
Sungai Kahayan yang berwarna bening kecoklatan bak air teh. Cahaya matahari yang sedari tadi bersinar ganas membuat permukaan sungai sesekali terlihat tembus mengikuti gelombang yang tidak beraturan. Barangkali hanya ada enam atau tujuh orang di atas dek kapal itu siang ini, saya hanya melempar senyum ke mereka kemudian sibuk dengan kamera sendiri.
Ada banyak penglihatan di sepanjang susuran Sungai Kahayan. Termasuk di antaranya wilayah suci Suku Dayak yang ditandai dengan tonggak-tonggak berbendera kuning. Beberapa kali kapal yang bergerak pelan ini melintasi tanah-tanah keramat yang terselip di paparan sungai.
“Katanya,” sahut bapak nakhoda, “Dulu Tjilik Riwut sering bertapa di daerah ini. Mencari wangsit atau meminta petunjuk kepada roh leluhur. Entahlah. Kakek saya yang bilang begitu.”