Setiap negara membutuhkan identitas. Identitas tidak serta-merta maujud begitu saja, melainkan dipahat sedikit demi sedikit seiring dengan perjalanan sejarah bangsa tersebut. Museum ibarat sinopsis suatu bangsa, penyederhanaan dan penyingkatan brutal terhadap rekaman perjalanan panjang suatu bangsa agar dapat dinikmati dalam satu dua lepas.
Penyederhanaan brutal bukan melulu berangasan, semena-mena, sembrono. Museum Nasional Indonesia adalah salah satu dari sedikit museum di Indonesia yang sanggup menyederhanakan kompleksitas itu dengan rapih. Masalahnya hanya satu, kurang sederhana lantaran ruang-ruang museum ini sudah tidak muat lagi untuk menampung artefaknya sendiri.
Adapun gedung barunya sudah cukup lumayan. Nampaknya memang berangkat dari kesadaran pengelola bahwa memang museum masif ini sudah tidak muat. Jumlah artefak yang ditampung pun bukan main-main, melampaui 61.600 barang koleksi, yang otomatis menjadikannya sebagai museum dengan koleksi terlengkap se-Asia Tenggara.
“Ya inilah Indonesia,” celetuk saya kepada Kirana, “Apabila kita mau menampung budaya setiap suku bangsa I Indonesia, yang ada tiga ratus etnis itu, mungkin saja butuh gedung sebesar Gelora Bung Karno. Tidak heran kalau gedung empat lantai seperti ini saja sudah kepenuhan.”
Saya yakin. Penyederhanaan itu ada di mana-mana. Artefak seluruh Indonesia pasti telah dipilah dan dipilih sedemikian rupa hingga menyisakan enam puluh ribu koleksi utamanya.
Orang menyebutnya Museum Gajah, lantaran sebuah patung gajah kecil yang berdiri di halaman depan museum ini, terkadang bagi yang tidak memperhatikan lumrah saja untuk melewatkannya dari pandangan. Patung gajah tersebut merupakan hadiah dari Raja Chulalongkorn di Thailand untuk penguasa Batavia pada kala itu.
Siang itu Museum Nasional sedang sepi. Belum banyak anak-anak sekolah yang biasa menyerbu ke tempat ini. Saya berjalan bersama Kirana menyusuri sudut-sudutnya. Rasanya seperti memutar ulang rangkaian perjalanan saya ke seluruh Indonesia, dalam versi yang sangat amat sederhana.