Akhir Kesunyian Derawan

Tidak seperti biasanya, sore itu tidak terlihat anak-anak desa bermain bola. Deburan ringan ombak dan kaok burung mendominasi ambien lautan, menyulap riuh Derawan menjadi kesenyapan. Saya berjalan bertelanjang kaki seorang diri menyusuri putih pasir pantainya. Panas matahari begitu membakar, serasa kaki ini dijerang di atas tungku. Namun saya tidak peduli.

Hampir dua minggu lamanya saya berada di daratan kecil ini. Lambat laun saya menjadi terbiasa dengan ritme kehidupannya yang lambat, kesunyian yang memanjakan telinga, dan panasnya senja. Penduduk desa pun sudah begitu akrab, seakan-akan saya adalah salah satu dari mereka.

Seekor penyu berukuran sebesar tudung saji melongokkan kepalanya. Saya mendekat dan menyodorkan selembar daun pisang, penyu itu menggigitnya tetapi kemudian melepaskannya kembali. Setiap pagi dan sore, penyu-penyu inilah yang menemani saya di sisi dermaga.

Tempo mendatang, menjangkau Derawan akan jadi soalan sepele. Pasalnya sebuah pelabuhan udara sah dibangun di Pulau Maratua. Sebuah gerakan yang sanggup merevolusi perekonomian penduduk di gugus kepulauan kecil ini. Namun di sini lain, itu mungkin adalah genta kematian bagi segenap ketenangan dan kedamaian surga kecil ini. Pesawat terbang yang lalu lalang serta influks turis akan menjadi sesuatu yang biasa di kemudian hari.

Teringat saya kepada masa perjumpaan dengan Sipadan, tetangga Derawan yang sempat disengketakan dengan negeri jiran. Gugus kepulauan semenjana milik Malaysia tersebut digadang-gadang sebagai surga penyelam. Sejujurnya, Sipadan is nothing compared to Derawan. Sipadan bukanlah apa-apa dibandingkan Derawan, apalagi Maratua.

Sipadan menikmati lebih banyak turis. Kemudahan akses dan promosi gencar adalah dua keunggulan di atas rival terdekatnya itu. Namun semakin lama saya mencumbu keduanya, semakin yakin saya bahwa gugus kepulauan ini punya potensi yang jauh lebih besar.