Bukan berkeliling dalam artian melancong. Namun berkeliling dalam artian berkendara ria di atas sepeda motor untuk mengunjungi satu per satu teman yang tinggal di kota ini. Jambi memang bukan top of mind ketika kita bicara soal wisata. Apalagi kotanya.
Bermodalkan dua motor ojekan, kami mengitari kota Jambi sembari melintasi sejumlah landmark penting kota ini. Pokoknya saya meminta rutenya lewat bangunan-bangunan penting supaya kami berdua dapat mengabadikannya. Tidak mengecewakan kami, bapak tukang ojek memutar rutenya melintasi Jembatan Batanghari, waterfront Tanggo Rajo, dan monumen nasional Jambi.
“Kamu kan sudah di Jambi. Harus incip dendeng batokok,” kata Tanty mencoba membujuk kami seketika kami tiba di kota, “Tetapi sekarang kita ngobrol dulu sambil cari gulai ikan tepek. Nanti saya bungkuskan satu porsi pempek juga buat dimakan selama perjalanan ke Sungai Penuh.”
Jambi memang bak persilangan antara Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Jadi jangan heran apabila dendeng batokok dan pempek sama-sama eksis di daerah ini. Sebagian timur dan utara provinsi Jambi kental dengan pengaruh Sumatera Barat, sisanya bernuansa Sumatera Selatan.
Sebelum melanjutkan perjalanan, Tanty mengajak kami berdua mengunjungi temannya di Jakoz. Ibarat Yogyakarta punya Dagadu dan Denpasar punya Joger, maka Jambi punya Jakoz. Setali tiga uang dengan Dagadu dan Joger, Jakoz juga menawarkan pernak-pernik anekdotal yang hanya sanggup untuk dipahami dalam konteks lokal.
Tanty melambaikan tangan, melepas kepergian kami berdua menuju Sungai Penuh. Sebuah perjalanan panjang selama delapan jam yang akan menyita semalam suntuk. Malam ini kami tidur di mobil.