Segepok bakmi ruwet itu ditampung di atas sebuah anyaman bambu. Kemudian dengan cekatan si emak bertubuh tambun mengangkat anyaman tadi dan merendam isinya di dalam sebuah kuali besar berisi loh, kuah kaldu mendidih. Sesaat kemudian bakmi tersebut diangkat dari mulut kuali dan ditiriskan.
Rajangan daun kucai berbaur dengan kubis ditaburkan di atasnya, kemudian disiram dengan semangkok loh yang mendidih tadi sebelum akhirnya disodorkan di depan hidung saya, lengkap dengan tempe kemul dan keripik tahu. Aromanya semerbak memenuhi warung sempit yang sunyi senyap siang itu.
Inilah Mie Ongklok, bakmi rebus khas Wonosobo. Nama ongklok sendiri diambil dari anyam bambu yang semula digunakan untuk merendam gembolan bakmi ini. Lazimnya warung-warung mie ongklok mudah ditemukan di seputar Dataran Tinggi Dieng yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Banjarnegara.
Cocok memang. Udara dingin Dieng yang terkadang tidak ramah sanggup dinetralkan dengan mie panas yang diseduh dalam kubangan kaldu gurih. Bukan salah saya apabila warung mie ini begitu sepi, namun lantaran pada hari Jumat siang mayoritas penduduk sedang beribadah. Jadilah saya makan di warung ini seorang diri, menikmati kesendirian di antara udara dingin dan makanan panas.