Saya keliru membawa sepatu yang sudah hampir jebol. Hari ini kami habiskan berempat untuk berjalan kaki, mulai dari pertigaan Villa Bu Jono hingga Telaga Pengilon. Rute berputar-putar itu membuat sepatu saya terasa semakin renggang. Biarlah.
Pada hari-hari sepinya, Dieng memang fantastik untuk pejalan kaki. Bukan saja tekstur jalan desa yang beraspal dan teduh namun juga lantaran penduduknya yang sedemikian ramah dan tidak segan-segan berbagi cerita. Tidak terkecuali Pak Ngadimin.
Pak Ngadimin sibuk menata bunga edelweiss yang dijualnya. Tidak seperti larangan memetik edelweiss liar yang biasa digaung-gaungkan, beliau mengaku bahwa edelweiss di Dieng memang sengaja dibudidayakan. Bunga ini tumbuh dengan sangat subur terutama di sekitar Gunung Prau dan Gunung Pakuwojo.
“Memang bunga edelweiss dilindungi,” kata Pak Ngadimin tidak yakin, “Tetapi kami di sini sudah berusaha membudidayakan tanaman ini. Jadi memang jumlahnya selalu dijaga dengan menebar benihnya secara periodik. Tidak asal dipetik.”
Beberapa kali saya mendaki gunung dan mendapati bunga ini tumbuh liar. Aromanya dipercaya mampu memompa adrenalin, sekaligus dikarenakan hanya tumbuh di ketinggian ekstrim, maka keberadaannya sering dimanfaatkan sebagai totem ketika pendaki sudah mendekati puncak.
“Tapi Dieng bukan hanya punya edelweiss,” terang Pak Ngadimin lagi, “Di sana-sini juga tumbuh banyak bunga-bunga cantik lainnya, seperti hortensia, daisy, dan mawar.”
Mata saya terpaku pada barisan bunga hortensia berwarna biru cerah yang tersebar di sepanjang pagar kompleks Candi Arjuna. Tidak hanya bunga-bunga liar tumbuh di seantero Dieng, namun sejumlah besar bunga terlihat jelas sedang dibudidayakan. Namun apakah saya mempunyai niat membawanya pulang? Ah, tidak. Biarlah saya menikmatinya selagi di sini saja.