Ambon adalah kota penuh cerita. Mulai dari kedatangan gelombang pedagang Tiongkok, masuknya Islam, pemburu rempah-rempah, hingga era Republik, tempat ini menjadi episenter geo-politik yang kini tenar dengan sebutan “Manise”.
“Manise itu sebenarnya sebutan untuk gadis-gadis Ambon,” terang Norris, kawan yang baru saja bertemu dengan saya di siang yang mendung ini. Saya berkenalan dengannya lantaran perjumpaan secara tidak sengaja di dunia maya.
Seketika saya menjejakkan kaki di Pulau Ambon, perasaan campur aduk langsung terasa. Ambon punya pantai sangat indah, namun sungai sangat kotor. Pusat kota yang rapi menawan, namun pasar tradisional yang amburadul. Kota ini ibarat hitam-putih tata kota yang berbaur menjadi satu.
Dahulu, Ambon bersaing ketat dengan Manado sebagai kota terpenting kedua di Indonesia bagian timur setelah Makassar. Namun seiring dengan konflik berkepanjangan yang mendera tanah ini, Ambon mulai tertinggal. Beruntung semenjak berakhirnya konflik etno-religi, Ambon kembali bangkit. Pembangunan terlihat di setiap sudutnya, termasuk megaproyek sekelas Jembatan Merah-Putih dan hotel empat puluh lantai, Victoria Park Hotel, pun dicetuskan di kota cantik ini.
Meskipun pembangunan Victoria Park Hotel kandas, pembangunan Jembatan Merah-Putih, terpanjang di Indonesia bagian timur, sudah mencapai tahap akhirnya. Sesaat lagi Kota Ambon akan punya landmark baru berkelas internasional.
Ambon pernah akrab dengan konflik, rentet sengketa yang merobek-robek kota ini dan menjadi catatan kelam dalam perjalanannya. Itulah alasan mengapa di tengah-tengah kota Ambon terdapat sebuah gong raksasa, Gong Perdamaian Dunia, yang senantiasa mengingatkan pentingnya perdamaian. Klise. Namun itulah kenyataan yang menghambat pertumbuhan Ambon di masa-masa yang lalu.
Membutuhkan waktu sepuluh tahun bagi Ambon untuk mampu kembali ke lintasan yang benar semenjak berakhirnya konflik. Pembangunan kembali digiatkan dan perekonomian wilayah ini kembali berdentum, utamanya di tiga sektor, yaitu perikanan, jasa, dan pariwisata. Apabila mereka mampu mempertahankan perdamaian dan memompa pembangunan, jangan heran andai Ambon kembali memantapkan pengaruh pada masa-masa mendatang.
Pertemuan saya dengan Norris menjadi titik awal dari penjelajahan pulau Ambon, mulai dari sendi-sendi kotanya hingga ke ujung jazirah Leihitu. Satu minggu saja untuk mini-arkipelago ini.