Tersebutlah dua hikayat etimologis Malioboro. Salah satunya berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti karangan bunga. Tatkala Kraton Yogyakarta berhajat, penuhlah pasase Malioboro dengan warna-warni bunga. Beda halnya dengan teori lain yang lebih tenar yang menengarai Malioboro adalah peleset lidah Jawa dari kata Marlborough, atau Marlboro, dari era kolonial Britania.
Jalan Malioboro mulanya didesain sebagai tumpuan imajiner utara-selatan yang melambangkan relasi supranatural antara Kraton dengan Gunung Merapi di utara dan Laut Kidul di selatan. Pada perkembangannya, Jalan Malioboro mempunyai posisi yang sangat penting baik secara strategis maupun simbolis, itulah mengapa Belanda kemudian mendirikan sebuah benteng di ujung jalan ini, menyusul kemudian rumah gubernur, kantor pos, dan bank sentral.
Di sepanjang jalan raya ini pulalah Sultan pernah mengkavling sejumlah tanah yang dialokasikan kepada orang Tionghoa yang kemudian dikenal sebagai Distrik Cina. Pada masa perjuangan, lagi-lagi Jalan Malioboro mendapatkan peran sentral, kali itu sebagai medan tempur pasukan pejuang melawan kolonialis.
Banyak abad telah terlewati, kini Jalan Malioboro dihiasi oleh pusat-pusat perbelanjaan. Namanya tenar hingga ke mancanegara sebagai ikon Yogyakarta. Seiring dengan perkembangan sebagai pusat perekonomian, jalan bersejarah ini juga menjadi sentra perkembangan seni budaya. Mulai dari arena seniman jalanan hingga panggung kabaret macam Oyot Godhong.
Perjalanan saya menyusuri Jalan Malioboro malam itu adalah bagian dari niatan menemani dua kawan yang singgah dari Sabah, yaitu Baizurah dan Lot. Yogyakarta adalah kota yang unik tentu saja, selain dari atmosfer kotanya yang bersahabat dan dinamika masyarakatnya yang semrawut namun menarik, kota ini juga menawarkan diri sebagai destinasi yang ramah kantong.
“Are you adventurous enough?” tanya saya kepada Baizurah, “Di sini ada sate kuda. Mau?”