Kopi Joss, Tanpa Filosofi

Andai bukan lantaran kedatangan Baizurah dan Lot dari Sabah, boleh dipastikan saya tidak akan bercengkerama di warung kopi joss malam-malam seperti ini. Namun kedatangan mereka berdua dari Kinabalu membuat saya harus memutar otak untuk mencari-cari delikasi kuliner yang cukup spesial untuk mewakili Yogyakarta.

Singgahlah kami malam itu di kedai kopi joss. Selain karena lokasinya yang tidak jauh dari Jalan Malioboro, faktor keunikan juga menjadi pertimbangan saya menjatuhkan pilihan kepadanya.

Setiap malam minggu, sebaris jalan seberang Stasiun Tugu disesaki anak-anak muda sepantaran yang duduk ongkang-ongkang untuk menyantap sate dan menyesap kopi kental. Pada umumnya mereka adalah pendatang, sudah menjadi rahasia publik bahwa orang lokal lebih senang ngeteh daripada ngopi. Meskipun demikian, ada sesuatu yang unik di balik si kopi kental.

Kopi joss bukan kopi kental biasa. Kopi panas ini diseduh dengan segumpal arang dari pohon jati yang diyakini mampu meredam asam lambung layaknya Norit. Ceritera urban menyatakan bahwa kopi joss ini bermula dari kreasi seorang pemilik kedai bernama Lek Man, puluhan tahun berlalu kopi joss racikannya menjadi populer ke seluruh penjuru nusantara. Bahkan mulai dikenal dunia.

Malam itu jadilah kami bertiga mencoba kopi unik ini. Lot memesan kopi hitam lengkap dengan arangnya, sementara saya berusaha agak jinak dengan menambahkan susu. Hanya Baizurah yang sepertinya melewatkan kesempatan untuk mencoba racikan setengah waras ini.

Belum pukul sepuluh malam kami sudah berjalan kembali. Saya mengucapkan salam perpisahan kepada mereka berdua dan melanjutkan perjalanan menuju ke Solo keesokan harinya. Barangkali kami bisa bertemu lagi di lain kesempatan.