Saya kenal Sangeh waktu saya masih duduk di kelas dua SD. Dari kalender dinding. Gambaran akan sebuah pura di tengah hutan yang dihuni oleh monyet-monyet liar menghiasi fantasi kanak-kanak saya kala itu. Pokoknya pasti, suatu saat nanti, saya akan berkunjung ke Sangeh.
Entah bagaimana ceritanya, saya melewatkan dua puluh tahun semenjak momen itu. Baru kali ini saya berkesempatan untuk benar-benar mengunjungi pura di gambar kalender itu.
Tentang Sangeh sendiri sebenarnya sudah dicatat oleh Lontar Babad Mengwi. Skriptur kuno Bali tersebut sudah pernah mencatat tentang adanya sebuah pura di tengah hutan yang dihuni oleh beberapa kerajaan monyet. Dikisahkan Putri Ida Batara dari Gunung Agung bersemedi dan entah bagaimana ceritanya, namanya juga mitologi, hutan pala di Gunung Agung berpindah sendiri ke Mengwi pada suatu malam.
Mungkin dikarenakan penduduk Abiansemal hobi begadang, mereka melihat pohon-pohon pala melayang berpindah dari Gunung Agung menuju ke arah Mengwi. Perpindahan yang dipergoki penduduk desa ini membuat sihir tersebut punah hingga akhirnya pohon-pohon pala tersebut berhenti di Abiansemal, tepatnya di Sangeh.
Cokorda Sakti Blambangan, salah seorang putra Raja Mengwi, mengunjungi hutan pala tersebut dan kemudian memerintahkan pasukannya untuk membangun sebuah pura di sana sebagai altar pemujaan bagi Ida Batara Gunung Agung dan Batara Melanting. Pura tersebut kemudian diberi nama Pura Bukit Sari.
Seiring dengan berjalannya waktu, Pura Bukit Sari berangsur-angsur menjadi latar favorit monyet liar yang tinggal di hutan tersebut. Konon terdapat tiga kerajaan monyet yang masih mendiami hutan pala ini. Di tengah berubahnya alam di sekitar Sangeh yang menjadi pemukiman padat penduduk, hutan pala mitologis di tempat ini tetap bertahan.