Di tempat inilah Jakarta lumer dalam satu wadah. Inilah melting pot, ketel lelehan bagi megapolitan yang heterogenistik. Mengunjunginya ibarat menyambangi sebuah miniatur Jakarta.
Apabila anda adalah satu-satunya warga Jakarta yang belum pernah ke Kota Tua, saya sarankan untuk melewatkan malam di tempat ini. Perjalanan sepulang kerja menuju Kota Tua boleh dibilang cukup naim lantaran melawan lazimnya arah arus lalu lintas. Yang jelas anda tidak perlu turut baris-berbaris dengan berlaksa-laksa kendaraan yang menuju ke Bogor, Depok, Tangerang, maupun Bekasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, Kota Tua cukup banyak berubah dan berbenah. Sudut-sudut pesing kini sudah tidak ada lagi. Pedestrian yang dulu muram kini dilebur dengan pendar-pendar apik lampu taman, yang dulu tempat ini bikin ngeri sekarang malah bikin galau.
Setiap lorong-lorong yang mengitari Lapangan Fatahillah punya cerita. Setiap bangunan uzur baik yang masih terawat maupun setengah runtuh punya sejarah. Kota Tua adalah awalan peradaban metropolitan Jakarta semenjak berabad-abad yang telah lewat.
Malam itu Yugie dan saya menemani Agam mengunjungi kompleks ini. Agam adalah orang Cianjur yang baru saja terseret arus urbanisasi Jakarta. Sebagai bagian dari masa orientasi, kami berdua mengajaknya untuk melihat-lihat arena yang menjadi cikal bakal kota Jakarta ini.
Semakin larut, pengunjung Kota Tua perlahan-lahan mulai berkurang. Tersisalah kami bertiga duduk di salah satu bangku panjang Kota Tua bersama pocong, Doraemon, dan tukang es doger. Berhubung esok adalah hari kerja, biarlah hari yang panjang ini kami tutup.