Ihwal Car-Free Day Jakarta

Jakarta pada minggu pagi adalah hingar bingar paling sinting di Asia Tenggara. Selang waktu yang hanya empat jam berlabel car-free day ini memang menjadi tampilan menarik yang mana warga Jakarta kompak tumplek blek di jalan raya tanpa kendaraan bermotor. Saat itulah jalanan protokol Jakarta berubah menjadi sinopsis dari keanekaragaman dan kemeriahan ibukota.

Tidak salah apabila mantan walikota London, Boris Johnson, begitu terkesan dengan pagelaran mingguan ini, bahkan salah satu cita-citanya adalah menggelar hal serupa di London. Tentu sulit karena setahu saya tidak banyak orang London yang rela susah-susah bangun jam enam pagi di akhir pekan, kecuali tukang pungut sampah.

Hari Bebas Kendaraan Bermotor memang punya nuansa tersendiri. Ini adalah sebuah momen di mana bapak-bapak berspandex, anak-anak kampung, tukang cireng, dan ondel-ondel berkumpul di tempat yang sama menjalankan urusan dan hobi masing-masing yang sama sekali berbeda.

Sebenarnya car-free day lahir bukan dari Jakarta, melainkan dari Surabaya. Pada tahun 2000, Kota Surabaya menjadi kota pertama di Indonesia yang mempunyai itikad mengosongkan jalan-jalan protokolnya pada akhir pekan dari kendaraan bermotor, membuka kesempatan bagi masyarakat untuk tumpah ruah ke jalan raya. Ide ini kemudian ikut diadopsi oleh Jakarta dua tahun kemudian yang menjadi sangat populer dan kini dijiplak di lebih dari tiga puluh kota di seluruh Indonesia.

Ide car-free day sendiri sejatinya tercetus di Eropa demi alasan lingkungan, kala itu car-free day menjadi sebuah kampanye untuk menurunkan emisi kendaraan bermotor dan dilangsungkan di lebih dari seribu lima ratus kota di dunia. Namun Indonesia memiliki konsep yang benar-benar berbeda, car-free day di republik ini tak ubahnya parade karnaval mingguan.

Saya duduk di pembatas jalan mengamati orang lalu-lalang. Sementara Ira sedari tadi bercerita kini nampak sibuk memilih-milih gorengan di emper gedung Bank UOB. Pada hari minggu, Jalan Sudirman memang benar-benar berubah sama sekali, tidak seperti hari-hari yang sebiasanya.

“Jarang-jarang kamu bisa ikutan seperti ini kan,” seloroh Ira tiba-tiba, “Soalnya setiap akhir pekan kan biasanya kamu traveling ke segala penjuru dunia. Tumben ini di Jakarta.”

Dia benar. Jarang lho saya hari minggu di Jakarta.