Tangan-tangan tua yang kekar itu mencomoti ikan dari boks styrofoam, perlahan-lahan Pak Faisal mengambil satu demi satu hasil tangkapan semalam dan meletakkannya di nampan baja. Tidak lama kemudian setiap ikan telah berpindah ke tempat yang baru.
“Yang ini kita makan sendiri saja, nanti digoreng,” terdengar dari nada suaranya yang datar.
Saya melongok ke dalam boks styrofoam, tiga ekor ikan kecil teronggok di dasarnya, tergenang dalam air lelehan es batu yang berbalur darah merah. Ketika kondisi ikan-ikan lain terselamatkan oleh dinginnya es batu, tiga ikan di dasar boks ini nampaknya sudah rusak, dagingnya terkesan lembek dan kemungkinan telah hancur.
Selalu demikian. Yang masih baik dijual untuk memenuhi kebutuhan, sementara yang telah rusak akan digoreng untuk dimakan sendiri. Apabila beruntung mereka sanggup menjualnya ke negeri seberang dan mendapatkan keuntungan yang berlipat, mulai dari ikan patin hingga cumi-cumi. Namun primadona saat ini tentu saja adalah lobster.
“Atau kalau lobster biasa dikirim ke Jakarta,” sambut Pak Faisal menyeringai lebar, “Lobster laku keras di Jakarta, dari Tanjung Batu sana kadang bisa sekali kirim lima puluh kilogram dan dibeli seharga tujuh puluh juta per pengiriman.”
Tujuh puluh juta rupiah tentu merupakan angka yang besar. Masalahnya mengumpulkan lobster lima puluh kilogram tentu juga merupakan pekerjaan setengah mati. Lobster bukan jenis hewan yang melimpah apabila dibandingkan dengan biota laut lain semacam ikan patin atau ikan pipa.
“Dulu sering nelayan dari Malaysia dan Filipina ikut-ikut masuk perairan ini,” terang Pak Faisal seraya mengepak paket-paket ikan terakhirnya, “Mereka mengambil ikan terus dibawa ke Malaysia, kalau tertangkap mereka mengaku manusia perahu yang tersesat. Sekarang juga masih ada tetapi sudah sangat jarang.”
Teringat saya akan sebuah kunjungan ke Semporna, Malaysia, beberapa tahun silam. Memang di sana ada perkampungan nelayan yang Bangau-Bangau. Tidak jarang mereka melaut berminggu hingga berbulan, melampaui perairan Sipadan memasuki perairan Derawan dan Laut Sulu.
Ketika bicara ihwal lautan, maka batas negara tak akan lagi setegas daratan. Di mana ditemukan penghidupan maka di sana akan cetus gravitasi yang menarik nelayan, apapun kebangsaannya, untuk mendekat. Tidak terkecuali lautan yang kaya raya ini, Derawan.