Mendaki Puncak Mahawu ibarat berjalan di mall. Alias gampang. Bagaimana tidak, hingga sedikit ratus meter sebelum puncak sudah diaspal sehingga kendaraan bermotor dapat dengan mudah menjangkaunya. Untuk mendaki ke atas hanya butuh lima belas menit melintasi setapak berbatu yang setengah di antaranya sudah ditegel.
Tentu saja jangan dibandingkan dengan penanjakan ke Puncak Lokon. Boleh dibilang pendakian ke Puncak Mahawu adalah pendakian model hit-and-run. Naik, lihat, dan pulang.
Orang Minahasa menamai gunung ini Mahawu lantaran kerap mengeluarkan abu. Konon nama sejati dari gunung ini adalah Gunung Rumengas. Entahlah. Mahawu sendiri pernah beberapa kali meletus, yang terdekat adalah pada tahun 1994 dan 1999, kala itu gunung ini meletupkan lumpur fumarol dari permukaan kawahnya.
Dengan ketinggian cuma 1.311 meter dari permukaan laut, tentulah pendakian ke pucuk Mahawu bukanlah perjalanan yang panjang. Terlebih apabila mengingat pendakian dilakukan dari dataran Tomohon sendiri yang lokasinya sudah cukup tinggi. Atraksi tunggal di puncaknya adalah sebuah kawah luas dengan bentangan dua kali lapangan sepakbola dan kedalaman nyaris 150 meter.
Haidir membawa saya ke tepi kawah. Di atas sana terdapat sebuah dinding pengaman setinggi pinggang yang menyekat kami dengan satu ngarai sedalam seratus lima puluh meter. Selebihnya adalah hamparan cekungan kelabu yang tertutup kabut.
Lantaran puncaknya yang tidak terlampau tinggi, Gunung Mahawu relatif berada di bawah garis batas vegetasi sehingga puncaknya pun ditumbuhi oleh baris pepohonan rimbun tidak seperti gunung-gunung lainnya. Bahkan jika beruntung kita dapat bersua burung madu Sangihe yang berkeliaran di atas.
“Mahawu ini salah satu tempat paling populer di Tomohon,” terang Haidir yang tentu saja saya sudah tahu, “Pada akhir pekan, biasanya tempat ini rame. Kalau hari biasa seperti ini ya tidak ada orang selain manusia-manusia iseng seperti kita.”