Pertunjukan Brutal Tomohon

Besar laiknya sebilah golok, pisau daging setebal jengkal tangan itu dihujamkan begitu saja. Terlepaslah sudah kepala babi itu dari tubuhnya. Ini bukan golok pembunuh naga, ini golok pembunuh babi.

Bagi saya, itu adalah pertunjukan brutal. Bagi para pedagang yang berdiam di Pasar Tomohon, itu adalah bagian dari keseharian. Pemandangan berdarah yang melibatkan kambing, kucing, anjing, soa-soa, hingga kelelawar sudah menjadi tontonan lumrah di pasar yang terselip di Tanah Minahasa ini. Inilah salah satu dari segelintir wilayah di dunia yang punya pantangan makanan lebih sedikit daripada Tiongkok.

Bau anyir darah segar menyengat ketika saya melintas di lorong sempit sektor kios-kios yang berjualan daging babi. Kepala-kepala babi dipajang berjajar di atas meja, menatap kosong ke calon pembelinya.

Namun bagi kebanyakan orang, sektor yang paling berat untuk dilihat adalah deretan kios penjual daging anjing, hewan kesayangan banyak kultur. Sekitar dua lusin anjing kampung dijejalkan dalam kerangkeng besi, terperangkap hidup-hidup menunggu giliran disembelih. Beberapa di antara mereka melolong dan menyalak keras, sementara sisanya hanya membisu seakan-akan sudah tahu akhir ceritanya. Dari sudut pandang anjing-anjing ini, Tomohon ibarat Auschwitz.

Tubuh-tubuh anjing yang mati dihajar itu kemudian dipanggang hingga berwarna hitam legam, kemudian disusun bertumpuk di atas meja dagangan. Artinya, siap dibawa pulang oleh siapapun yang membelinya.

Apabila anjing dijual dalam kawanan besar, tidak demikian halnya dengan kucing. Kucing-kucing yang telah dibakar tadi ditusuk seperti satu kemudian diletakkan di dalam keranjang-keranjang plastik, yang kemudian dijajakan dalam jumlah kecil, dua atau tiga ekor per kios.

Gerimis kembali mengguyur. Nampaknya kehadiran di Minahasa pada musim hujan membuat saya harus rela dengan sambutan okasional seperti ini. Saya pun bergegas untuk mencari kendaraan berangkat ke Manado, berpamitan dengan bapak pedagang kelelawar. Datang lagi saja di akhir pekan, katanya, karena ada pedagang ular yang datang ke tempat ini. Ah, mungkin lain waktu.