Nama Asi Mbojo sudah menjadi sempalan legenda Bima. Siratan namanya mengisyaratkan sebuah kesultanan yang dulu pernah digdaya menguasai separo timur Pulau Sumbawa, merembet hingga sempat menggapai teluk Larantuka di ujung Flores sana. Ada masanya di mana pulau-pulau mungil seperti Pulau Sawu dan Pulau Solor di seputaran Nusa Tenggara berlutut di kaki Kesultanan Bima.
Di dalam sejarah panjangnya yang penuh naik-turun, Kesultanan Bima juga pernah harus tunduk kepada invasi Kerajaan Gowa-Tallo yang datang jauh dari seberang utara. Kerajaan Gowa-Tallo pulalah yang membawa Islam masuk ke Bima, mengubahnya dari kerajaan bercorak Hindu-Buddha menjadi sebuah kesultanan Islam.
Kedatangan saya ke Tanah Bima disambut dengan hujan rintik-rintik yang membasuh seantero kota. Taksi yang saya tumpangi dari bandara menikung dengan kencang di sudut jalan kemudian menurunkan saya tepat di halaman depan gerbang kayu Kraton Asi Mbojo sembari mengucapkan pesan untuk berhati-hati. Entah apa maksudnya.
Halaman depan Istana Asi Mbojo dihiasi oleh sebuah taman nan apik dengan satu prasasti yang teronggok di bagian tengah-tengahnya, pada prasasti tersebut tertulis bagaimana Sultan Salahuddin menyatakan kesetiaan kepada Republik Indonesia di dalam sambutannya kepada Presiden Soekarno. Istana yang berdiri pada awal abad ke-20, bersamaan dengan medio Sumpah Pemuda, ini masih berdiri tegak sebagai salah satu ikon Kota Bima dan Pulau Sumbawa.
Sisi kanan istana ini punya sebuah masjid yang berusia separo abad lebih tua daripada istananya sendiri. Masjid Muhammad Salahuddin ini melengkapi konsep triangulasi yang terdiri atas masjid, alun-laun, dan istana dalam sebuah kesatuan utuh.
“Dari mana, Mas?” sambut sang penjaga musuem berpakaian PNS dan berkumis tebal ketika saya baru saja melepaskan sepatu untuk melangkah masuk ke dalam kompleks istana.
“Dari Solo, Pak!” sambut saya dengan tersenyum. Yang kemudian ditanggapinya dengan mengantarkan saya berjalan berputar di dalam area terluar museum ini. Barisan etalase penyimpan pusaka kraton terlihat tidak seperti lazimnya museum-museum di Jawa, di sini mereka dirantai dan dikerangkeng rapat-rapat karena maraknya aksi pencurian pusaka. Saya pun melangkah masuk ke ruangan singup itu, sementara di luar sana hujan semakin deras.