Sultan Muhammad Salahuddin lahir dan besar di lingkungan santri. Ayahnya adalah Sultan Ibrahim yang memimpin Kesultanan Bima dan konon memiliki hubungan akrab dengan Kerajaan Arab di Mekkah. Faktor lingkungan yang religius inilah yang membuat Sultan Salahuddin dididik dan dibesarkan oleh para guru agama yang berasal dari Jawa dan Arab berhaluan Syafi’i.
Ruangan yang menjadi tempat tinggal Sultan Salahuddin satu abad silam terlihat masih terawat dengan baik. Pada salah satu sudutnya tercantum sepasang foto sang sultan bersama istrinya, sementara pada sudut yang lain teronggok sebuah dipan besar dan meja kursi yang dahulu kerap digunakan untuk menulis. Di sinilah Sang Sultan menetaskan beberapa buku keagamaan yang di kemudian hari menjadi populer di kalangan agamawan.
Bapak penjaga istana menyuruh saya duduk di kursi milik Sang Sultan. Awalnya saya agak ragu lantaran biasanya kursi peninggalan sejarah seperti ini tidak untuk diduduki, namun sang bapak meyakinkan saya bahwa itu tidak apa-apa. Di sana kemudian saya berfoto beberapa kali dengan latar belakang kamar tidur Sultan Salahuddin.
Di dalam pemerintahannya, Sultan Salahuddin termasuk sosok yang sangat peduli terhadap dunia pendidikan. Beliau mendirikan banyak sekoalh dan universitas di Kesultanan Bima, termasuk HIS yang berdiri di Kota Raba dan sebuah sekolah kejuruan wanita. Hal ini merupakan salah satu prestasi tersendiri bagi seorang pemimpin nusantara pada masa tersebut.
Seluaran kamar Sultan Salahuddin kini dihiasi oleh sebuah panggung adat Bima yang ditemani beberapa buah manekin berkostum tradisional yang terpampang pada aulanya.
“Sultan Salahuddin juga merupakan salah satu perintis Nahdlatul Ulama,” terang bapak penjaga istana, “Beliau tertarik dengan nuansa perjuangan para ulama Jawa ini setelah bertemu dengan Syekh Hasan Syechab dan kemudian mendirikan cabang NU di Bima.”
Ketika Soekarno dibuang ke Ende, beliau menyempatkan diri singgah di Bima dalam perjalanan menuju pembuangan. Di Bima inilah Soekarno menjalin persahabatan dengan Sultan Salahuddin yang pada kemudian hari menjadi awalan bagi deklarasi kesetiaan Kesultanan Bima terhadap Republik Indonesia. Beberapa kali Soekarno berkunjung ke Kesultanan Bima, beliau selalu menempati kamar yang sama, yaitu sebuah kamar yang berada tepat di sebelah kamar Sang Sultan.