Bandung di Lingkung Gunung

Tengoklah barisan penggal-penggal lagu gubahan para seniman Sunda. Cepat atau lambat pasti tersurat bahwa kota Bandung yang mereka lukiskan itu bertempat di lingkung gunung. Bandung bagaikan ceruk Tanah Pasundan. Tidak janggal andai masyarakat menyebut dataran tinggi ini cekungan. Bandung ibarat setangkup mangkuk raksasa yang dinaungi badan-badan gunung.

Dalam Riwayat Geologi Dataran Tinggi Bandung, Profesor Prajatna Koesoemadinata memaparkan bahwa Bandung lahir dari Gunung Sunda. Gunung raksasa yang menjulang empat ribu meter dari permukaan laut itu merupakan gunung berapi yang sangat aktif dan acap meletus. Letupan demi letupan menyudahi riwayatnya, gunung tertinggi di Pulau Jawa itu pun runtuh, hancur, bersamaan dengan kelahiran Gunung Tangkubanparahu jauh pada masa pra-sejarah.

Kini Gunung Tangkubanparahu dibelah aspal mulus menghubungkan Lembang dengan Subang, melintasi Jalan Cagak yang tenar itu. Saya bersama Jeremy bermotor menyusuri aspalnya yang meliuk-liuk tajam sembari merapatkan jaket menghadang hembus udara dingin.

Sisa-sisa kedahsyatan Gunung Sunda sebenarnya masih sempat kita saksikan. Saya memarkirkan sepeda motor di sisi jalan Lembang, menatap jauh ke seberang. Tertampak sebuah bukit bernuansa kelam yang dinamai warga sekitar sebagai Gunung Batu. Di tempat tersebut terpapar jelas sepenggal tebing patahan memanjang nyaris tiga puluh kilometer membentengi sisi barat laut Bandung. Inilah Sesar Lembang.

Melintasi perbatasan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat bukanlah petualangan seperti yang sudah-sudah. Pasalnya aspal mulus sudah membentang sejak puluhan tahun silam, memudahkan akses bagi para penjelajah untuk menyusuri rute legendaris ini.

Katakanlah terjadi musibah di jalan, semisal ban bocor, juga tidak sulit untuk menemukan tukang tambal ban. Ketika sebuah petualangan sudah dicerabut oleh keberadaan infrastruktur, maka yang tersisa dari perjalanan ini adalah udara dingin dan pemandangan cantiknya. Masih.