Entah berapa ratus kali saya lewat sini. Ketika kuliah prei, saya sering menyepi dan mendinginkan kepala di Lembang. Di masa itu Lembang masih senyap, tidak seperti sekarang di mana Lembang sudah menjadi semacam Puncak kedua bagi warga urban Bandung dan Jakarta.
Lalu apa menariknya Lembang? Tiada ubahnya kini ia hanya menjadi sebuah bagian lain dari akumulasi kesesakan dan kerumitan metropolitan Bandung.
Bermula dari penghujung medio sembilan puluhan, wilayah sekitar Lembang dan Cisarua dirangsek oleh para pemilik modal. Investor tanah berlomba-lomba mengkavling apa yang dulunya pedesaan senyap di sisi utara Bandung itu. Imbasnya, selain Lembang menjadi semakin sesak, Observatorium Bosscha yang pernah digdaya pun kehilangan kemampuan pandang di tengah polusi cahaya lantaran daerah sekitarnya sudah disesaki oleh pemukiman yang nyala lampu-lampunya membenamkan kerlap-kerlip antariksa.
Saat ini jangan tanya, harga tanah yang meninggi di Lembang mendesak demam investasi properti hingga jauh ke barat, bahkan sudah mencapai Parongpong di pesisir Cimahi sana!
Namun kecantikan Lembang adalah natural. Di tengah-tengah area yang sesak penduduk ini, kami masih menemukan sempalan-sempalan masa lalunya. Salah satunya adalah ketika Marko dan saya menerobos Jalan Sersan Bajuri menggunakan sepeda motor, mengiris Lembang dari sisi inferiornya. Kebun kembang terbentang di sisi kanan jalan dengan latar Gunung Bukit Tunggul.
“Suatu saat nanti apabila kita kembali ke tempat ini, mungkin kita sudah tidak sanggup lagi memandang lepas jauh ke sana, ke Bukit Tunggul maupun ke Burangrang,” kelakar saya. Marko hanya tertawa ringan sembari mengiyakan.