Rumah Tua di Banjarmasin

Rumah-rumah kayu tua itu nampak lebih tua daripada jalannya. Namun yang jelas tidak lebih tua daripada sungainya. Bagi siapapun yang melintas di waterfront Sungai Martapura, rumah ini tidak akan luput dari pandangan karena wujudnya yang begitu mencolok. Demikianlah, gugus-gugus kolonial ini memang masih eksotik, kalau tidak mau saya sebut terbengkalai.

Rumah-rumah tua itu pernah dibiarkan melapuk begitu saja di papar Sungai Martapura. Empat tahun silam ketika saya berkunjung ke Banjarmasin, rumah tersebut masih ditumbuhi lumut dan jendelanya penuh dengan remah kaca-kaca yang pecah. Namun kini rumah tua itu dan beberapa bangunan cagar budaya di sekitarnya telah diperbaiki.

Dahulu kala bangunan uzur tersebut pernah difungsikan sebagai gedung gereja, kemudian dialihfungsikan menjadi gudang, hingga akhirnya dijadikan cagar budaya oleh pemerintah. Salah satu aspek paling menarik dari rumah Belanda ini adalah bentuknya yang simetris, sehingga dua sub-bangunannya terlihat seperti rumah kembar.

Rumah sebelahnya nampak tidak kalah tua, kecuali atapnya yang nampak baru direnovasi. Rumah yang kedua ini tiang-tiangnya yang tertanam di Sungai Martapura nampak jelas, layaknya standar bangunan masyarakat Kalimantan.

Pagi itu kota Banjarmasin begitu ramai. Saya berjalan dari daerah Jalan Bank Rakyat menuju ke lokasi Festival Pasar Terapung Tahunan di depan kantor gubernur. Sesekali nampak anak-anak muda belajar breakdancing di pelataran waterfront. Pemandangan yang mirip dengan apa yang pernah saya lihat di Palangkaraya.

Ah, tapi rumah-rumah tua tadi tetaplah yang paling menggoda mata.