Memori Museum Bank Mandiri

Memasuki gerbang Museum Bank Mandiri ibarat tersedot pusaran mesin waktu. Dinding-dinding kusam bernuansa sefia mengurung saya dari segala sisi, membawa saya jauh ke masa lalu, masuk ruang waktu kolonialis. Cahaya matahari semenjana menerobos masuk dari jendela-jendela kayu lapuknya, memberi warna lantai yang aram menjadi kecoklatan.

Begitu senyap dan muram hingga telinga saya dibuai oleh desiran angin melintasi lorong-lorong tuanya, dari lantai atas hingga ke sudut-sudut di ruang bawah tanahnya.

Dua ratus tahun yang lewat, Nederlandsch Handel-Maatschappij atau Maskapai Dagang Belanda berkantor di bangunan ini sebagai perpanjangan tangan kantor pusat Amsterdam. Dari gedung yang posisinya berlawanan dengan Stasiun Beos inilah seluruh aktivitas dagang VOC di seantero nusantara dikendalikan.

Sesaat sesudah republik merdeka, gedung ini dipindahtangankan kepada Bank Exim. Gelombang krisis Asia pada tahun 1998 memaksa pemerintah melikuidasi sejumlah bank dan beberapa bank lain terpaksa membentuk aliansi. Salah satunya adalah Bank Exim yang harus bergabung dengan bank-bank pemerintah yang lain membentuk Bank Mandiri.

Semenjak saat itulah kantor Bank Exim ini digunakan sebagai Museum Bank Mandiri dan didesain sedemikian rupa menyerupai kondisi bank pada era kolonial.

Bersama Kirana, saya menjelajahi Museum Bank Mandiri pagi itu. Hujan deras yang disertai petir menyambar-nyambar di luar sana menambah suasana muram gedung tua ini. Sementara saya tidak terlalu peduli lantaran banyak sekali objek menarik yang dipajang di tempat ini. Di mana lagi saya bisa melihat mesin ATM dari tahun tujuh puluhan?

Gedung ini juga mempunyai ruang bawah tanah yang dijadikan mock-up ruang penyimpanan emas dan surat-surat berharga. Menarik juga mengingat pada masa sebelum transaksi elektronik segalanya harus tercatat di dalam surat-surat legal yang merepotkan.

Berikutnya, kami akan menyeberang ke Museum Bank Indonesia.