Banua Rumah Adat Mamasa

“Kami mau seperti Toraja,” sambut bapak di Rante Buda itu sambil menyesap kretek, “Masalahnya kami tidak punya akses langsung ke Kementrian seperti mereka. Saya yakin, pemerintah lokal sudah berpikir keras untuk memajukan ekonomi Mamasa, tetapi mereka kurang cerdas untuk membuat kebijakan.”

Kedatangan saya ke Rante Buda pagi hari itu sebenarnya bukan untuk membicarakan ekono-sosio-politik Mamasa, namun untuk menilik rumah Banua Layuknya. Ketika masih di Eropa, saya pernah mendengar liputan di televisi Prancis menyebut Mamasa sebagai “Toraja sebelah Barat”. Toraja yang lebih dulu maju dan populer membuat Mamasa harus rela dengan stigma seperti itu.

Banua Mamasa berlainan dengan Tongkonan Toraja yang mempunyai format perahu ramping. Rumah adat tradisional Mamasa mempunyai proporsi atap besar dan berat, didukung dengan penampang lebar yang punya kesan menaungi. Apabila suatu saat nanti saya punya uang berlebih, saya mungkin berminat untuk membangun satu rumah seperti ini di Kelapa Gading.

Secara distingtif terdapat empat Banua eigendom Mamasa. Banua Layuk untuk kepala suku, Banua Sura untuk para bangsawan, Banua Bolong untuk para ksatria, dan Banua Rapa untuk masyarakat. Hanya dari melihat ornamen dan bentuk rumah, kita dapat langsung mengetahui status sosial pemiliknya.

Lama saya berdiskusi dengan seorang bapak dari Dinas Kepurbakalaan yang nampaknya ngefans berat dengan Anies Baswedan. Besar harapannya bahwa anak-anak muda Mamasa nantinya bisa mendapatkan beasiswa di Bandung atau Makassar dan kembali untuk membangun kampungnya. Tidak salah. Mamasa mempunyai potensi wisata luar biasa. Udaranya lebih sejuk daripada Toraja dan kontur alamnya lebih menantang. Ketika soalan infrastruktur teratasi, saya yakin langkah berikutnya akan lebih ringan.