“Sebenarnya ada investor mau masuk, tapi kami tolak. Kami takut dijajah lagi,” kata seorang bapak tua yang duduk di tangga benteng sambil menghisap kreteknya.
Benteng Speelwijk seperti kandang kambing. Kotoran kambing berserakan di mana-mana, rumputnya tinggi tidak terawat, dan bagian dalamnya dipenuhi oleh warung-warung tenda temporer. Yang paling parah, beberapa penduduk menggunakan sudut-sudut benteng sebagai toilet umum. Ketiadaan investor kerap dijadikan alasan kondisi menyedihkan ini. Bukan tidak ada, tapi tidak mau.
Siapa sangka Benteng Speelwijk dulu pernah berjaya. Tiga abad yang lalu, Hendrik Cardeel memimpin pembangunan benteng ini dengan memperkerjakan buruh-buruh Tionghoa berupah rendah. Speelwijk adalah nama yang disematkan sebagai tribut teruntuk Gubernur Belanda, Cornelis Speelman. Struktur bangunannya yang kokoh dengan menara pandang menantang Laut Jawa memantapkan pembantar ini sebagai lini defensif yang mumpuni di Banten Lama.
Dari kedua lubang kecil di menara pandangnya, saya bisa melihat jelas Laut Jawa. Invasi musuh dari laut dapat segera diidentifikasi dan diantisipasi dari Speelwijk.
Saat ini sisa-sisa kejayaan itu redup, bahkan hampir mati. Selain karena nyaris tidak ada campur tangan dari pemerintah untuk merawatnya, tingkah polah masyarakat pun memperparah keadaan. Gurat-gurat vandalisme di tembok benteng bertebaran dan sesekali coretan piloks menghiasi dindingnya.
Nilai sejarah nampaknya tidak menarik bagi warga sekitar. Satu-satunya atraksi di tembok benteng ini adalah hantu wanita yang pernah dijadikan sasaran acara uji nyali-nya Tukul.
Saya tidak habis pikir. Apabila memang tidak ada niatan untuk menarik investor, minimal mereka bisa urun tangan untuk merawatnya. Tirulah Fort Rotterdam di Makassar atau Fort Marlborough di Bengkulu yang terawat dengan baik. Dahulu Belanda meninggalkan Fort Speelwijk untuk menghindar dari endemi sampar yang menyeruak di wilayah Banten Lama. Dua abad berlalu, benteng bersejarah ini masih belum ada yang merasa memiliki.