Pulau Tidore punya ritmenya sendiri. Waktu di sini seakan merangkak, berputar lambat-lambat tanpa digesa-gesa oleh suatu apapun. Dinding legam Benteng Torre berdiri angkuh di depan wajah saya berlatar gugus-gugus awan putih yang berarak pelan. Benteng warisan Spanyol ini seakan menjadi personifikasi keadaan Tidore saat ini, tenang, tegar, diam tidak bergerak.
Saya berjalan setengah berjingkat ke pelataran atap benteng berusia lima ratus tahun ini. Bastion bujur sangkar yang ada di puncaknya terlihat masih untuk dan barangkali menjadi satu-satunya isyarat bahwa bangunan tua yang saya daki ini adalah sebuah benteng. Bukan Spanyol melainkan Portugis yang awalnya menginisiasi pembangunan benteng ini di bawah Kapten Sancho de Vasconcelos.
Hanya saja pendudukan Spanyol atas Tidore memaksa Portugis tidak menyudahi sepak terjang mereka di pulau ini dan memilih untuk fokus di pulau seberang, Ternate. Atas perintah Gubernur Cristobal de Azcqueta Menchacha, pembanguna benteng ini dituntaskan bersamaan dengan Benteng Santiago yang pada kemudian hari dikenal dengan nama Benteng Tahula. Jadilah Pulau Tidore mempunyai sepasang benteng kembar yang menggawangi pantai timur mereka.
Barisan tangga batu yang panjang membawa saya dari tepian laut menuju ke bukit batu di mana Benteng Torre ini dibangun. Dahulu kala benteng ini punya dua fungsi utama, yaitu sebagai menara pandang untuk mengamati situasi laut sekaligus sebagai pusat pertahanan para pelaut Spanyol di dalam memperebutkan hegemoni atas produksi rempah-rempah di arkipelago Maluku.
Portugis dan Spanyol bersengketa di Ternate dan Tidore selama hampir seratus tahun lamanya. Hingga akhirnya Belanda masuk ke nusantara dan menguasai seluruh kepulauan ini menyudahi kekuasaan keduanya di pulau kembar ini. Dalam penyerbuan Belanda ke Pulau Tidore di awal abad ke-17, Benteng Torre memainkan peran antagonis sebagai pertahanan yang kalah dan akhirnya dihancurkan. Apa yang tersisa dari benteng bersejarah ini hanyalah dinding-dinding terluarnya yang tebal angkuh seakan tidak lekang oleh zaman.
Belanda tidak pernah punya itikad untuk memanfaatkan keberadaan Benteng Torre secara penuh. Benteng ini hanya sesekali digunakan oleh pasukan londo sebagai menara pengamatan namun tidak pernah berlanjut lagi. Bastion-bastion tuanya dibiarkan tergerus oleh waktu dan lambat laun teronggok dalam sepi ketika monopoli perdagangan rempah-rempah dunia diakhiri oleh Inggris.