“Pembangunannya sekarang jadi kenceng tapi banyak yang keliru,” ledek Eumir ketika kami berempat sedang menikmati santap siang, “Misalnya itu trotoar Kebun Raya ada di sebelah kanan jalan. Padahal kan kebanyakan orang menyetop angkot di sebelah kiri jalan. Kalau begini siapa yang mau lewat trotoar itu?”
Adalah Bima Arya Sugiarto, sosok walikota muda fenomenal yang membuat nama Kota Bogor kerap menghiasi media-media massa nasional. Suka tidak suka, Bima Arya terangkat dalam momen hampir bersamaan dengan gelombang populisme yang meroketkan nama figur-figur semacam Ridwan Kamil, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, dan Tri Rismaharini. Bogor pun berlari kencang.
Larinya Kota Bogor memang khas dengan gaya walikotanya yang muda dan ambisius, namun khas pula dengan minimnya pengalaman yang berakibat ke banyak kebijakan salah sasaran. Salah satu gebrakan paling awal dari Bima Arya adalah sudut-sudut Kota Bogor yang dipercantik dengan taman dan arena terbuka, menjadikan Kota Bogor lebih layak huni.
“Kota ini sekarang jadi banyak taman, bagus sih,” terang Bayu menimpali obrolan kami sore itu, “Tetapi masalah fundamental seperti angkot yang ngetem dan bikin macet masih belum teratasi sama sekali.”
Entahlah. Mungkin karena dianggap kurang seksi. Permasalahan parade angkot maupun kemacetan adalah isu yang melanda Kota Bogor semenjak dua puluh tahun yang lalu, ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Kota Angkot ini. Di balik trotoarnya yang grandeur ala Eropa, terdapat iring-iringan mobil-mobil yang terjebak kemacetan tanpa simpul.
Saat ini Bogor sedang menantikan selesainya sebuah proyek besar, Tol Bocimi, yang menghubungkan Bogor dengan Ciawi dan Sukabumi. Semakin terbukanya kran kendaraan dari Jakarta dan Sukabumi sudah barang pasti akan membuat Kota Bogor semakin riuh. Jelaslah harus ada upaya untuk membuang limpahan-limpahan kendaraan tersebut agar tidak memampetkan pusat kota.
Bima Arya sendiri sudah melakukan banyak hal untuk Kota Bogor, berbagai inovasi telah mengubah wajah Kota Bogor menjadi kota yang lebih layak huni. Tetapi untuk masalah fundamental yang satu ini sepertinya tidaklah beres-beres. Saya hanya bisa berharap, jangan sampai Bogor kembali meraih predikat sebagai kota dengan lalu lintas terburuk nomor dua di dunia lagi.