Kabut Tebal di Bukit Kaba

Kabut yang turun semakin ditunggu malah semakin tebal. Tidak terlihat ada apapun di bawah sana. Cindy dan saya menunggui di puncak bukit sembari diterpa ciprat-ciprat air gerimis yang turun dengan agak segan. Padahal kami tahu ini adalah puncak yang berbahaya. Beberapa tahun silam, sepasang ibu dan anak tewas disambar petir ketika sedang duduk di puncak Bukit Kaba.

Perjalanan jauh kami dari Bengkulu ke atap bukit ini tidak menemui apa yang diharapkan, sendat-sendat gugus awan tebal mengambang rendah menyelimuti permukaan kawah sehingga seisi kawah seakan terbungkus di bawah selimut kapas. Ada dua orang pemuda yang sedari tadi nampak berdiam diri di sana, menurut mereka berdua sedari pagi memang kabut enggan untuk beranjak.

Saya mencoba untuk berjalan mengitari tepian kawah yang dipagari oleh dinding batu setinggi pinggang. Di bawah sana terlihat cekungan kawah yang terjal namun jarak pandang yang pendek membuat saya tidak mampu memindai apa yang ada di bawah sana. Pandangan saya terbatas hanya kepada kapas-kapas putih yang mengambang pelan di permukaannya.

Angin dingin bertiup menembus sela-sela pakaian. Saya memang tidak membawa jaket namun tidak terlalu peduli, bagi saya keterbukaan pemandangan di depan ini lebih dinanti-nantikan daripada apapun.

Satu jam kami berada di atas namun tanpa hasil. Kedua pemuda tadi nampaknya masih belum ingin menyerah, mereka duduk diam setia menunggu berharap-harap ada fenomena alam yang menggeser gugus-gugus kapas yang menghalangi pandangan ini. Tetapi kami tidak punya banyak waktu, alhasil kami pun segera mengucapkan salam perpisahan dan beranjak turun menapaki anak tangga Bukit Kaba.

Di bawah sana kedua bapak pemandu menunggu kami. Bukit Kaba bukan semakin tersibak namun justru kabut yang ada semakin menjadi-jadi, ketika kami menatap ke atas kabut putih sudah membenamkan nyaris seluruh pucuk bukit hingga kedua pemuda tadi sudah tidak terlihat lagi karena ditenggelamkan kabut.

“Tidak dapat apa-apa, Pak,” gerutu saya kepada bapak pemandu yang hanya nyengir, “Kita harus segera melanjutkan perjalanan lagi, jadi antar kami turun ke desa ya, Pak.”