Menerobos Ketinggian Polewali

Antara Putra, Adnan, dan Abrar, ada satu di antara mereka yang punya ide gila untuk mendaki gunung di bulan puasa. Saya tidak tahu siapa yang mulai. Namun yang jelas kami berempat terpaksa kepayahan untuk mendaki perbukitan di Kunyi demi menyaksikan seantero cekungan Polewali dari atas.

“Bukit ini terletak di jalan poros Mamasa. Dari atas bagus,” kata Abrar. Saya percaya. Jika tidak, mustahil mereka bertiga begitu antusias untuk berjalan ke atas dalam kondisi berpuasa.

Alur pendakian ini melampaui sejumlah desa adat dan perkebunan coklat. Pedesaan adat yang, menurut Putra, mayoritas adalah non-Muslim dilihat dari banyaknya babi di pekarangan. Metodologi identifikasi kepercayaan masyarakat berbasis spesies di pekarangan ini cukup masuk akal. Bukan ihwal yang aneh memang, sebab lokasi desa-desa ini memang berbatasan langsung dengan Mamasa, kabupaten seberang yang mayoritas penduduknya menganut agama Kristen.

Kurang lebih empat puluh menit kemudian, kami tiba di dataran yang agak landai. Dari sini, benar kata Abrar, kami dapat melihat cekungan Polewali terhampar di seberang sana. Lengkap dengan garis pantai dan lautnya yang samar-samar.

Elok memang. Namun tentu pemandangan ini tidak bisa menjadi satu-satunya justifikasi dari pendakian panjang yang melelahkan itu.

“Di dekat sini ada air terjun,” kata Abrar, “Namanya Indo Rannuang. Kita mandi di sana.”

Bergegaslah kami melanjutkan perjalanan naik. Tidak jauh, katanya. Sambil mengerahkan ampas-ampas tenaga, kami menuju ke air terjun yang mengalir langsung ke Sungai Limbong Sitodo itu.