Suara sayup adzan Masjid Jami mengiringi langkah saya menyusuri trotoar yang bergelombang. Empat belas tahun sudah Pangkalpinang lepas dari bayang-bayang Palembang, berpijak sendiri sebagai ibukota provinsi yang mandiri. Peluang baru dan juga masalah baru. Malam itu saya duduk di warung
Kota Pangkal Pinang
Makam Tua yang Terabaikan
Jerangan matahari senja yang jahanam tidak mengurungkan niat saya untuk menyusuri pekarangan yang terbengkalai di sudut Kota Pangkalpinang ini. Beberapa nisan tua nampak teronggok di sudut-sudutnya, tidak ada yang mempedulikan. Adalah sebuah keajaiban bahwa bongkah-bongkah batu makam ini masih bertahan
Seorang Diri di Pasir Padi
Barangkali tidak ada yang cukup sinting untuk bermain-main di pantai pada tengah hari yang panas membara tepat di tengah bulan puasa seperti ini. Tidak mengherankan apabila Pantai Pasir Padi pada pagi ini nampak sedemikian kosong. Hanya terlihat beberapa orang penduduk
Museum Timah Pangkalpinang
Derak roda loko sudah lenyap diredam zaman. Seakan memberi kesempatan bagi deru mesin truk untuk menggantikannya. Zaman memang telah berubah. Namun Bangka tetaplah identik dengan timah yang bertebaran di seantero tanahnya. Etimologi Bangka sendiri lahir dari kata ‘wanka’ yang berarti
Sisa Kejayaan Nusa Timah
Batangan timah itu terasa agak dingin tatkala bersentuhan dengan punggung tangan saya yang terbakar matahari. Stempel ‘Banka’ terpahat jelas pada salah satu penampangnya. Trademark, kata mereka, untuk timah kualitas terbaik yang pernah ada di nusantara. Timah Bangka sempat menghidupi dunia.