Denyut Kota Pangkalpinang

Suara sayup adzan Masjid Jami mengiringi langkah saya menyusuri trotoar yang bergelombang. Empat belas tahun sudah Pangkalpinang lepas dari bayang-bayang Palembang, berpijak sendiri sebagai ibukota provinsi yang mandiri. Peluang baru dan juga masalah baru.

Malam itu saya duduk di warung kopi Tung Tau, menyaksikan gerak-gerik pembangunan mall di seberang jalan. Sementara di sebelah saya seorang ibu nampak sibuk menata karung-karung lada segar. Demikianlah Pangkalpinang berada di sebuah persimpangan jalan, tatkala kehidupan baru menggencet kehidupan lamanya. Besar niatan saya untuk kembali suatu saat nanti, demi melihat ke mana kota ini melangkah.

Pangkalpinang adalah kota kawakan. Pedagang Hakka dari Tiongkok menyebut tanah ini dengan nama Pin Kong jauh sebelum republik berdiri. Kota ini pernah hidup dari lalu lintas perdagangan maritim, kemudian beralih menjadi kota timah, dan kini jalan-jalan sempitnya seakan tidak pernah lengang dari hiruk pikuk kendaraan.

Pangkalpinang mempunyai dua wajah etnis yang nyaris sama besar, Tionghoa dan Melayu. Etnis Tionghoa yang berasal dari ras Hakka mendominasi kehidupan kota ini, mereka adalah pedagang Guangdong yang masuk ke nusantara berabad-abad silam. Sementara etnis Melayu berasal dari Semenanjung Malaya yang bermigrasi secara kontinu. Orang Hakka menyebut diri mereka Thong Ngin dan menyebut orang Melayu dengan istilah Fan Ngin.

Menyusuri jalan sesak kota ini jelang matahari terbenam hingga ke pekat malam menjadi sebuah petualangan tersendiri, denyut kehidupan yang terasa di sentra-sentra perdagangannya perlahan meredup berpindah ke kedai-kedai kopi. Tatkala para lelaki dewasanya menjalani tradisi berabad-abad, duduk dengan satu kaki terangkat di kursi bicara ngalor ngidul, roda pembangunan kota ini terus berputar.

Tatkala toko-toko kelontong tergantikan mall-mall modern, tatkala kedai-kedai kopi tergantikan kafe-kafe mewah, tidak dipungkiri Pangkalpinang sedang berada di persimpangan jalan.

Belum pukul delapan, jalanan yang ramai mendadak redup dan senyap. Lorong-lorong di antara toko-toko kelontong kehilangan pendarnya dan kini pun menjadi suram. Apa boleh buat saya harus berjalan seorang diri menyusurinya untuk kembali ke hotel. Semoga besok ada kesempatan untuk menjelajahi Pulau Bangka lebih jauh.