Jejak Laksamana Cheng Ho

Banyak yang berkata bahwa perjalanan adalah ujian keberanian. Namun pengalaman saya membuktikan bahwa perjalanan lebih kepada ujian kesabaran, ini soal kelapangan hati ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana ataupun kehabisan stok rencana. Dan soal ini sebanyak apapun pengalaman, sepantasnya saya berguru kepada Laksamana Cheng Ho.

Laksamana Cheng Ho alias Admiral Zheng He menghabiskan dua puluh delapan tahun hidupnya di perjalanan yang disponsori kaisar. Berjibaku di tengah ganas samudera maupun terombang-ambing di tengah laut tenang yang membosankan. Menurut tutur Liang Qi Chao, Perjalanan beliau bersama armada laut Tiongkok yang masif itu berhasil membelah setengah planet dan merangkum catatan perjalanan nan impresif yang turut membantu penggambaran peta dunia di kala itu.

Perjalanan Harta Karun, demikian orang Tiongkok mengenal tujuh ekspedisi Cheng Ho. Dari tujuh perjalanan harta karun tadi, enam di antaranya Cheng Ho menyempatkan diri untuk menyinggahi Pulau Jawa. Di sinilah ketokohan Cheng Ho dianggap berperan sentral di dalam penyebaran agama Islam di Asia Tenggara.

Apakah Cheng Ho sendiri seorang Muslim? Entahlah. Banyak referensi yang mengatakan iya, namun ada pula yang mengatakan bukan. Tentunya karena agama bukanlah faktor utama yang melatari catatan Liang Qi Chao hingga seluk beluk religi Cheng Ho sendiri menjadi samar-samar.

Laksamana Cheng Ho pernah menurunkan jangkarnya di kota San Pau Lung, alias Semarang. Di kota pelabuhan inilah beliau selalu menyempatkan diri untuk berdoa di sebuah bukit batu. Pada kemudian hari, dibangunlah sebuah kuil di sana untuk yang dinamai Sam Poo Kong, yang mana orang Jawa biasa menyebutnya Gunung Batu, untuk dipergunakan baik umat Muslim maupun umat Tridharma hingga hari ini.

Selain di Kota Semarang, Laksamana Cheng Ho sempat berlabuh di Surabaya, Cirebon, dan Surabaya. Meskipun demikian tidak ada lagi kota di Indonesia yang lebih familiar dengan sosok sang penjelajah terbesar Tiongkok ini selain Semarang.

“Pada abad ke-18 sebenarnya sebagian klentheng ini pernah hancur karena kena longsor,” terang Pak Cun yang saya temui di depan kolam pada siang itu, “Tetapi akhirnya dibangun kembali. Pada abad ke-19 tanah ini juga sempat dikuasai seorang keturunan Yahudi dan ditutup untuk umum tetapi kemudian dibeli oleh orang-orang Tionghoa secara urunan dan dibuka untuk umum.”