Lupakan gambaran cantik permai tentang sebuah danau. Danau Sipin sebagai danau yang terletak di Kota Jambi ini membentang paralel dengan Sungai Batanghari yang membelah kota menjadi dua. Permukaannya yang tenang lebih banyak dihiasi oleh tambak-tambak ikan warga dan beberapa rakit bambu yang berseliweran sana sini mengangkut penumpang.
Hujan gerimis membasuh Kota Jambi pagi itu, Bella dan saya harus berbasah-basah menyusuri aspal yang menyisir tepian danau yang senyap dengan beberapa kendaraan melintas dengan kencang di sisinya. Solok Sipin, demikian orang sini menyebutnya, adalah danau yang lebih banyak difungsikan sebagai penopang ekonomi kampung di sekitarnya sebagai penghasil ikan air tawar yang dikembangbiakkan dalam keramba-keramba.
“Di sini kelihatan bagus danaunya apalagi kalau beli rumah di sebelah sini,” ucap Bella membuka pembicaraan pada pagi itu tatkala kami berdua berjalan kaki menanjaki bukit-bukit kecil yang ada di tepian danau.
“Kalau siang sih iya,” balas saya, “Tetapi kalau malam ini bisa jadi gudang nyamuk.”
Kelakar demi kelakar yang kami lontarkan pagi itu memang membuat kami abai dengan hujan gerimis yang membilas Jambi sedari pagi. Sedari awal perjalanan kami ke Kota Jambi ini memang boleh dibilang miskin destinasi tujuan, terlepas dari Candi Muaro Jambi maka praktis kawasan Kota Jambi ini tidak mempunyai banyak titik untuk dikunjungi.
Lazimnya orang mengunjungi Danau Sipin pada senja hari. Matahari yang terbenam apik di ufuk barat akan memberikan warna keemasan pada permukaan danau. Namun pada pagi hari seperti ini danau ini justru terlihat seperti empang dengan barisan eceng gondok yang melapisi sebagian tepinya.
“Dari sini kita jalan kaki ke Museum Siginjai tidak jauh,” cetus saya mengajak Bella berjalan kaki menuju destinasi berikutnya, yaitu sebuah museum yang menjadi etalase kebudayaan masyarakat Jambi.