Hari ini Fatumnasi berada di atas awan dan di bawah air. Di tengah padang savanna luas yang membentang di atap Gunung Mutis, kami harus berbasah kuyup diterpa rembesan air hujan yang turun begitu saja tanpa bilang permisi. Langit yang semula merekah cerah mendadak menjadi redup dalam saputan halimun tebal.
Desa ini desa hujan, demikianlah kurang lebih peringatan Galuh kepada saya kemarin. Intinya, pada musim apapun saya harus bersiap siaga lantaran hujan bisa turun kapan saja. Setidaknya hari ini saya mengalami hal itu, bagaimana cuaca berganti dalam sekejap. Dari nyala cerah menjadi muram dalam waktu sekian menit.
Saya meneduhkan diri di bawah rimbunan barisan pohon di ambang hutan Gunung Mutis. Namun serasa tiada berguna lantaran air ibarat merembes di udara dan bukan turun dari langit. Jadilah sedikit banyak pakaian yang saya kenakan mulai terasa kuyup. Sementara itu Pak Kapolres nampaknya cukup persiapan dengan menenteng payung yang langsung dikembangkan.
“Waduh,” celetuk Pak Komang yang mengemudikan mobil kami, “Pakaian kalian basah semua ini.”
Bukan. Bukan pakaian yang saya khawatirkan. Saya lebih mengkhawatirkan kondisi jalan berbalut tanah merah yang selembut mentega itu pastilah kini semakin remuk redam. Salah-salah tanjakan yang seharusnya bisa kita lewati sekarang sudah ambles atau membawa kita terperosok ke bawah tubir ngarai.
Dan memang benar. Sekarang kami harus turun mobil dua kali lebih sering dari biasanya lantaran Gunung Mutis yang semakin sore semakin terasa lembab menjebak mobil-mobil polisi ini. Turun kemudian dorong. Begitu seterusnya.
Di tengah jibaku ini saya menyempatkan diri untuk duduk di atas sebuah batang kayu yang berbalut lumut. Hutan pinus Gunung Mutis terlihat muram. Pucuk-pucuk batang pohon pinus yang tadinya terlihat jelas kini terbenam di balik selaput tipis halimun yang melayang-layang di bibir langit. Saya hanya berharap perjalanan kami tidak semakin berat.