Dongeng Geologi Krakatau

Pada penghujung bulan Agustus 1883, belum tengah hari, meletuslah Sang Krakatau. Konon itulah letusan terbesar dan dentuman paling memekakkan telinga yang pernah dikenal oleh manusia modern. Suaranya membahana ke seantero planet dan terdengar hingga Asia Tengah yang berjarak nyaris lima ribu kilometer dari Selat Sunda.

Guinness Book of World Records mencatat eksplosivitas Gunung Krakatau sebagai yang terbesar yang pernah diobservasi oleh umat manusia. Dentuman kencang dan ledakannnya melontarkan batu-batu vulkanis raksasa dengan volume nyaris dua puluh kilometer kubik ke sempadan Jawa dan Sumatera. Belum lagi hujan kerikil yang mengguyur dari Pakistan hingga Selandia Baru.

Letusan Gunung Krakatau tidak hanya meluluhlantahkan dirinya sendiri. Skala letusan yang keterlaluan itu menghancurkan gunung-gunung lain di sekitarnya, termasuk di antaranya Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan. Gunung Rakata yang merupakan tetangga dari Gunung Krakatau pun terkena imbasnya, terpangkas hingga setengahnya, menyisakan sebuah lubang menganga dengan diameter tujuh kilometer dan sedalam seperempat kilometer.

Aktivitas vulkanis yang tidak lazim itu menggoyang seantero Selat Sunda. Air laut naik empat puluh meter dan melamun desa-desa di sempadan Jawa dan Sumatera, menyeret seluruh isinya ke laut lepas. Untuk Pulau Sebesi sendiri tidak ada seorang pun penduduknya yang selamat. Tsunami bukan hanya muncul lantaran gempa tetapi juga bawah laut Selat Sunda yang mendadak longsor.

Sebanyak 36.417 nyawa melayang dan tiga ratus desa musnah, korban berjatuhan hingga Karawang di Jawa Barat. Selamabeberapa hari berikutnya sebagian Jawa dan Sumatera tidak melihat matahari.

Empat puluh tahun kemudian, atau tepatnya tahun 1927, gunung yang baru ini lahir. Muncul begitu saja dari bawah permukaan laut. Kita mengenalnya dengan nama Anak Krakatau. Selama sembilan puluh tahun terakhir, Gunung Anak Krakatau terus tumbuh. Beberapa tahun belakangan tercatat pertumbuhan tinggi dari gunung ini mencapai empat meter per tahun.

Siang itu saya berdiri menatap puncak Si Krakatau Muda. Lanskap yang luas terhampar di depan saya tanpa terhalang sesuatu apapun. Inilah anak dari gunung legendaris yang letusannya menggoncang dunia seratus tahun silam, termasuk menginspirasi lukisan The Scream karya Edvard Munch yang saya saksikan di Oslo awal tahun lalu.

Puncaknya terlihat begitu suram. Dan ia terus tumbuh.