Papas-papas daun pinus menghalang-halangi cahaya matahari yang masih malu-malu. Saya merapatkan jaket setinggi dagu dan melangkah pelan menyusuri jalan setapak yang lembab akibat hujan semalam suntuk, sementara Monika mengikuti. Hutan Pinus Dlingo sempat populer di dunia maya beberapa saat silam sepungkas telah menjadi destinasi andalan para remaja yang sadar internet.
Bukan tipikal saya mengunjungi destinasi Instagram seperti ini, namun apa salahnya mampir di tempat ini seusai perjalanan dari Kebun Buah Mangunan, yang toh lokasinya tidak terlampau jauh dari sini. Hutan Dlingo sendiri ramai dikunjungi wisatawan pada pagi dan sore hari di saat-saat matahari tidak terlampau tinggi di atas ubun-ubun.
Dlingo sendiri konon punya etimologi dari kata delengo, lihatlah. Hal ini bermula dari alkisah Ki Ageng Perwito Sidiq yang mengungkap adanya penampakan Ratu Kencono di sebuah bukit yang terletak di daerah in. Penampakan itu yang mendasari masyarakat sekitar untuk menyebut desa ini dengan nama yang sepadan, lihatlah.
Desa ini pada mulanya merupakan enclave Kasunanan Surakarta. Ya. Meskipun lokasinya berada di Bantul, desa ini berkiblat kepada Kasunanan Surakarta bersamaan dengan daerah Imogiri. Yang kemudian perkara ini diselesaikan oleh pemerintah republik dengan memasukkan kawasan ini di bawah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berarti otomatis menginduk kepada Kesultanan Yogyakarta.
Ah, tetapi siapa peduli dengan sejarah. Pandangan saya menyapu sekitar hutan pinus ini, yang terlihat hanyalah para pengunjung yang menikmati cantiknya alam dan berfoto. Lagipula urusan kesultanan dan kasunanan adalah perkara kadaluwarsa yang tidak penting untuk dibahas pada masa sekarang.
Saya berdiri di baris teratas amfiteater yang ada di lekuk dalam hutan pinus ini. Dari atas terlihat sebuah panggung kecil di depan sana yang mungkin kerap digunakan untuk pementasan musik. Mungkin. Entahlah.