Kandangan di Kalimantan Selatan bagaikan pinang dibelah dua dengan Sanggau di Kalimantan Barat bukan dalam hal positif, namun dalam hal penggundulan hutan di kanan-kiri jalan. “Biasa, Pak. Hutan seperti itu memang sengaja dibakar oleh penduduk setempat, sesudah itu tinggal ditanami dan dibikin perkebunan,” kata tukang ojek menjelaskan keingintahuan saya.
Beberapa petak hutan lebat yang ada di lereng Pegunungan Meratus dibakar habis, kemudian oleh para penduduk setempat tanah yang telah digunduli tersebut dibuka menjadi area perkebunan. Penduduk setempat paling suka menanam kelapa sawit, kata tukang ojek yang mengantarkan saya meninggalkan Loksado siang itu.
Sederhana. Ringkas. Namun mereka belum memperhatikan dampak jangka panjangnya. Apabila sebuah tanah dibuka dengan cara dibakar, maka kesuburan tanah tersebut tidak bertahan lama. Setelah melalui beberapa kali masa panen, tanah tersebut akan menjadi tandus dan akhirnya tidak mampu ditumbuhi vegetasi kembali.
“Ya tinggal buka hutan lagi, Pak. Bakar lagi hutan di sebelahnya,” jawab si tukang ojek enteng.
Demikianlah rakyat Kalimantan, baik penduduk asli maupun pendatang, kurang mendapatkan edukasi tentang hal ini. Atau mungkin mereka sebenarnya tahu namun tak ambil pusing. Apabila hal seperti ini dibiarkan berlarut-larut, maka bukan tidak mungkin Kalimantan yang saat ini dikenal sebagai paru-paru dunia karena hutannya yang lebat dapat berakhir menjadi seperti padang gurun.