Mobil berjalan meleset ke kanan kiri seperti jerapah yang berjalan di atas lantai yang baru dipel. Sesekali badan mobil tersentak ke bahu jalan kemudian sopir berusaha menguasai kendaraan liar ini dengan membanting setirnya kembali ke badan jalan. Yang saya maksud dengan jalan di sini adalah hamparan tanah merah berlumpur yang amblas ketika roda-roda mobil memijaknya.
Jangankan mobil, saya saja berulang kali terpeleset pada waktu berusaha untuk berjalan menyusurinya. Namun itulah segala jibaku yang harus kami jalani dalam usaha kembali dari Gunung Mutis ke Desa Fatumnasi.
“Sebenarnya untuk musim hujan saya tidak pernah izinkan orang untuk masuk ke dalam cagar alam dengan kendaraan,” ungkap Pak Mateos Anin ketika kami berdua harus turun dari mobil lantaran salah satu mobil terperosok lumpur dan nyungsep, “Tetapi karena ini permintaan khusus dari Pak Kapolres, maka saya izinkan. Apalagi cuaca sedang baik. Tetapi ternyata sisa hujan kemarin masih terasa.”
Bukan hanya satu dua kali mobil terjebak dalam kubangan lumpur dan kami harus turun untuk membantu proses evakuasi. Salah satu Toyota Hilux yang ditumpangi rombongan ini tersendat di hamparan lumpur setebal setengah meter yang mengakibatkan kami harus mengeraskan tanahnya dengan menimbun bebatuan. Saya membantu dengan menguruk dedaunan kering untuk mengurangi kelicinan jalan.
Untuk insiden yang satu ini boleh dibilang cukup parah mobil tersendat di lumpur sementara di depannya terdapat tanjakan sepanjang tiga puluh meter dengan kemiringan nyaris empat puluh lima derajat. Bayangkan kemiringan setinggi itu dalma kondisi tanah yang ambles.
Jadilah kami merancang solusi cepat dengan menjadikan salah satu pohon di sudut putarnya sebagai ‘wing’. Kemudian dengan tali baja, mobil akan ditarik dengan memanfaatkan pohon sebagai tiang tumpuan. Sudah barang pasti ini kerja keras yang tidak terkira, untuk memasang tambatan di pohon saja butuh waktu setengah jam per mobil. Belum lagi setengah jam untuk memaksanya naik. Dengan empat mobil maka total waktu terbuang di tengah hutan ini adalah empat jam.
Pukul dua kami lepas dari Gunung Mutis. Kini matahari sudah miring sedemikian rendahnya di ufuk barat. Terbersit kekhawatiran bahwa kami akan terjebak di dalam hutan ini hingga larut malam lantaran perjalanan masih panjang. Yang lebih mengkhawatirkan lagi sebenarnya adalah gerimis yang mulai terasa menerpa wajah, utamanya bagi saya yang duduk di bak belakang.
Deru mesin kembali meraung-raung, mobil dipacu agar mampu menerobos tanjakan-tanjakan kecil yang tersisa. Setir dibanting pada belokan agar mobil tidak tergelincir keluar dari lintasannya. Kami berhasil melewati seratus meter berikutnya, namun apa yang menghadang kami di depan sana ternyata bisa jadi lebih mengkhawatirkan.