Biaju Besar mereka menyebutnya. Sebuah sungai besar yang angkuh membentengi papar utara Palangkaraya ini memisahkan antara denyut peradaban modern dengan hutan belantara, antara masyarakat kota dan penduduk desa.
Namun semenjak Jembatan Kahayan berdiri pada awal dekade silam, tembok kokoh Biaju Besar perlahan-lahan mulai terkikis. Dinding yang dahulu memagari Pahandut ini runtuh. Terhubunglah masyarakat Palangkaraya dengan daerah-daerah di sekitarnya, tersebutlah Pulang Pisau, Gunung Mas, Kapuas, dan Barito.
Jembatan Kahayan adalah salah satu dari sekian banyak megaproyek era Soeharto yang kandas di penghujung rezimnya. Pembangunannya yang tertunda membuat jembatan sepanjang enam ratus meter ini baru terselesaikan di era Megawati.
Kini Jembatan Kahayan menjadi salah satu monumen ikonik di Palangkaraya, kota suci bila ditilik dari namanya secara harafiah. Lokasinya tepat di ujung jalan yang lain dari Bundaran Besar yang merupakan jantung de facto dari ibukota Kalimantan Tengah ini.
Panas sekali siang itu. Namun saya tidak peduli. Sembari berjongkok di sisi sungai, saya melihat kendaraan lalu lalang di atas jembatan.