Kaya Berkat Batu Bara

Sekelompok remaja terlihat cekikikan pada salah satu sudut bistro di Tanjungredeb. Di seberang mereka duduklah saya seorang diri bersibuk-sibuk di dunia maya sembari menikmati secangkir frappe. Sesekali saya memandang keluar dinding kaca, mobil-mobil baru berseliweran di atas aspal mulus. Tidak seperti kota-kota kabupaten lainnya, Berau dianugerahi kekayaan berlimpah.

“Jangan heran. Jelas kaya raya mereka. Di situ kan pusatnya batu bara,” oceh Vandi melalui pesan instan di Facebook. Saya hanya terkekeh mengiyakan ucapan sentimental salah seorang teman saya itu.

Satu bulan lamanya saya menyusuri pesisir timur Kalimantan. Dua minggu di antaranya saya tuntaskan untuk berdamai dengan kesunyian Taman Nasional Derawan-Sangalaki. Kini sampailah saya pada ujung perjalanan di kota kecil kaya raya ini, Tanjungredeb alias Berau. Bahkan menurut data BPS, Berau berada pada peringkat sepuluh daerah terkaya di Indonesia.

Batu bara telah menghidupi tanah ini. Bukan hanya hotel-hotel berbintang dan kafe-kafe saja bertebaran di seantero kota, namun salah satu bandara paling modern di Indonesia, Kalimarau, turut melayani arus keluar-masuk kota ini.

“Saya mau pemerintah kabupaten membuka akses masuk internasional melalui Kalimarau,” kata Sophian sembari menyesap kretek dalam-dalam, “Turis mau masuk ke Derawan biarlah mereka langsung terbang ke Tanjungredeb. Tidak usah lewat Balikpapan. Pariwisata harus didongkrak dari dalam.”

Batu bara tidak boleh dilihat sebagai sabuk pengaman Berau. Tapi sebaliknya. Batu bara harus dipandang sebagai dinamo untuk membangun masa depan Berau. Berkaca dari riwayat Sawahlunto, tak selamanya suatu daerah sanggup bergantung kepada barang tambangnya. Ketika Berau masih berkelebihan dengan produksi bahan tambangnya, mereka harus memutar otak untuk menginvestasikan kekayaan, utamanya untuk infrastruktur dan pendidikan. Demi masa depan yang lebih baik.