Halimun turun setinggi hidung. Saya berdiri di ambang tebing Bukit Kaba, menatap jauh ke arah kawah gunung yang tertutup oleh gugus-gugus kabut tebal. Sebenarnya saya menantikan tersibaknya kabut agar pemandangan cantik di depan sana terhampar jelas, sayangnya sedari tadi cuaca nampak tidak bersahabat.
Puncak Bukit Kaba bertengger di ketinggian 1.935 meter dari permukaan bibir laut. Mulanya kawasan ini diandalkan sebagai kawasan ekosistem pelindung flora fauna Bengkulu terutama Rafflesia. Namun seiring berjalannya waktu kondisi ekosistem di tanah ini tidak menentu hingga akhirnya pengelolaan cagar alam untuk menjaga kelestarian Rafflesia berpindah ke sisi perbatasan Kepahiang dan Bengkulu Tengah.
Bukit Kaba senantiasa menyimpan eksotisme sendiri. Gunung yang tidak terlampau tinggi ini mempunyai dua buah kawah yang masing-masing berwarna hijau dan putih kecoklatan. Kedua kawah kembar ini menjadi atraksi utama ketika seseorang menggapai puncaknya.
Berbekal kaos tipis seadanya, saya berjibaku melawan udara dingin yang sesekali berhembus melewati sela-sela dinding gunung. Di tepi kawah terdapat pagar tembok yang sebgaian besar sudah runtuh seakan-akan sudah kehabisan inisiasi untuk merawatnya lagi. Selebihnya hanya ada tumbuh-tumbuhan perdu setinggi pinggang yang menyemut di kawasan ini.
Cindy berjalan menuruni tangga, saya mengikutinya. Nampaknya tidak banyak yang dapat kami lakukan dalam cuaca yang kurang mendukung seperti ini. Terlebih kondisi di puncak Bukit Kaba boleh dibilang agak berbahaya apabila hujan turun nantinya. Sepasang ibu dan anak pernah tewas tersambar petir di puncak gunung ini beberapa tahun silam, menyisakan sebuah nisan batu di bibir kawah.
Sayang sekali alam belum berpihak kepada kami. Kami berdua harus turun dengan tangan kosong. Barangkali di lain waktu, kami masih bisa menemukan pesona dari bukit yang menjadi atraksi utama Kabupaten Rejang Lebong ini.