Jalan Menuju Kawah Sileri

Pemandangan di bawah tersimak bagaikan lukisan cat air. Teruntuk Pak Solihin yang semenjak lahir sudah berada di tempat ini tentu tidak pernah terlintas bahwa keindahan ini begitu spesial bagi kami, orang kota. Terlebih bagi saya yang tinggal di tengah hutan urban kota Jakarta yang padat sesak berdebu, brutal pula.

“Saya dari kecil setiap hari lewat sini ya biasa saja,” katanya sambil terkekeh dengan aksen Jawa yang kental, “Baru pas banyak turis dari Semarang dan Jakarta itu saya mikir, bagus juga ya.”

Langit hari ini begitu bersih. Senang saya menikmati keindahan yang tersimak di hadapan wajah saya, meskipun ada sedikit berkas-berkas rasa kecewa lantaran kunjungan saya ke Dieng terlewat singkat. Mungkin seharusnya saya berada di sini untuk satu minggu, dua minggu, atau mungkin malah satu bulan.

Hari itu kami berjalan kaki berempat menyisir tebing, memundaki Kawah Sileri di seberang kanan sana. Sementara Diaz berulang kali melempar lelucon-lelucon tolol yang membuat kami semua tergelak tidak karuan.

Telaga berwarna biru bening terpapar di bawah lapang sana. Itulah Kawah Sileri, asap putih tipis mengepul lambat dari permukaannya, kemudian lenyap berbaur dengan udara bebas. Di baliknya burung-burung hutan nampak terbang dan hinggap di pohon sekitarnya, seakan kurang peduli dengan aroma kawah yang menusuk.

“Kita sudah jalan jauh,” kata saya memecah kesunyian, “Tetapi kok aku nggak capek ya? Mungkin kalau pemandangan sebagus ini memang susah untuk terasa capek.”